Rabu, 12 November 2014

The Moment of Enggak PD

Sebenarnya waktu saya menyerahkan draft tesis saya ke pak Prof, sejujurnya saya katakan bahwa saya merasa bahwa tesis saya tersebut masih jauh dari memuaskan. Bagaimana tidak, kalo saya liat tesis-tesis yang lain, terutama tesis murid kesayangan Pak Prof dari Malaysia yang diberikan ke saya sebagai contoh, memang mutu tesis saya harus diakui masih kalah jauh. Saya juga melihat tesisnya Prof A yang waktu itu ketemu di konferensi kedua saya (ternyata dia juga meriset hal yang sama (compliance costs di AS)), pada waktu dia menyelesaikan PhD nya dengan riset mengenai studi banding pajak di Australia dan Inggris, saya merasa kecil hati: kok punya saya cuma begini doang? Tapi ya apa boleh buat, itu sudah maksimal buatan saya, sementara waktu juga semakin mendekat ke deadline. Tambahan lagi: saya juga sibuk memulangkan keluarga ke Indonesia dan sibuk juga mengepak barang-barang.

Semuanya itu masih ditambah lagi dengan syarat menjadi PhD yaitu bisa menyumbangkan suatu pengetahuan dalam suatu bidang ilmu tertentu. Lha ini kan berat banget. Ukuran menyumbangkan ilmu itu kayak gimana? Apa iya penelitian saya ini sudah menyumbangkan sesuatu yang signifikan? Bagaimana kalo sumbangannya kecil, sehingga tidak cukup layak untuk dianugerahi gelar PhD? Doktor gitu, lho? Ketidakyakinan saya terutama karena pembahasan saya yang saya rasa kurang begitu dalem. Saya hanya menghubung-hubungkan temuan satu dengan yang lain secara cukup lengkap, tetapi saya sendiri tidak menjawab mengapa hal itu terjadi. Soalnya untuk menjawab mengapa-nya ini memerlukan suatu riset tersendiri karena tidak terlalu terungkap melalui instrumen penelitian saya yaitu questioner, wawancara, dan fokus grup diskusi.

Selain hal-hal di atas, saya juga merasa agak bersalah pada Pak Prof, karena selama ini dia selalu bilang ‘udah kamu tenang aja, saya liat kamu cukup bagus kok’ dalam berbagai kesempatan. Bahkan dia juga mempercayai saya membantunya sebagai research assistant dalam proyek dia mengenai carbon tax di Australia. ‘Salah’ saya sendiri juga, kenapa saya berhasil menerbitkan paper dua kali di jurnal kelas A. Dengan semua fakta itu si Prof membiarkan saya menulis sendiri, sangat sedikit dia mengarahkan saya. Supervisor yang lain bahkan mungkin meminta anak didiknya untuk menyetor satu demi satu bab terus direview dengan teliti. Kalau si Prof saya ini lain. Dia justru nanya ke saya maunya gimana cara menyerahkan draft apakah mau satu per satu atu per beberapa bagian? Lha saya ditanya gitu ya maunya borongan aja, jadi gak bolak-balik bab demi bab yang memakan waktu lama.

Akhirnya ya begitulah. Dua bab saya setor di awal, abis itu dikoreksi dikit terus maunya dia langsung sebuah produk jadi tesis, langsung delapan bab secara keseluruhan. Waktu saya kasitau cara ini ke temen-temen saya, rata-rata mereka pada heran, kok bisa ya begitu. Mereka rata-rata per bab dimajuin, sehingga makan waktu lama. Ya tpi begitulah yang terjadi pada saya.

Jadi memang seperti itu, sementara saya di Indonesia beresin rumah dan nyari sekolah buat si Aby, Pak Prof di Perth sana memeriksa draft tesis saya. Walaupun tampaknya saya menikmati liburan di Indonesia (karena tidak ada hal-hal yang akademis yang saya lakukan), dalam hati saya pikiran tidak tenang bertanya-tanya apa yang akan terjadi terhadap draft tesis saya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar