Minggu, 21 Desember 2014

Epilog

Ini serius. Setelah saya pikir-pikir dan saya alami, sekolah di luar negeri itu “akan indah pada waktunya”. Maksudnya gini lho, segala kesulitan, tantangan, dan hambatan yang dialami seseorang waktu menjalani kehidupan di sana, akan terasa indah bener-bener setelah kita berada kembali di tanah air. Ini bukan berarti bahwa semuanya nggak enak lho ya. Maksudnya selain mendapat manfaat dari sekolah itu –misalnya dapet gelar terus dapet pekerjaan yang lebih baik setelah lulus—semua hal yang terjadi waktu di mancanegara akan terpatri (halah!) dalam memori kita dan keluarga. Misalnya waktu saya sekolah di Amerika  momen-momen mempunyai anak yang lahir di sana tentu tidak akan terlupakan, walaupun waktu itu terasa hidup susah, karena tidak ada pihak keluarga yang membantu mengurus anak yang baru lahir dan mau nanya juga kepada siapa, semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Demikian juga waktu sekolah di Australia, semua hal-hal yang menjengkelkan dalam kehidupan sehari-hari dan menyulitkan pada waktu penulisan tesis, akan terasa “tidak ada apa-apanya” setelah kita selesai sekolah. Justru dengan mengingat-ingat apa yang telah terjadi, membuat kita mensyukuri apa yang ada sekarang.

Sekarang bagian enaknya. Yang terutama, hidup dan sekolah di luar negeri itu akan membuka mata kita selebar-lebarnya. Oh, ternyata gini toh luar negeri itu. Pengalaman seperti ini tidak akan bisa kita peroleh kalo kita cuma membaca atau mendengar saja. Tidak juga akan kita alami kalo kita cuman menjalani kunjungan singkat (sebagai turis misalnya), karena kalo kita berwisata keluar negeri, kita cenderung melihat yang indah-indah saja. Dengan hidup di luar negeri, kita jadi punya wawasan tentang dunia luar, bagaimana suatu negara dikelola, juga bagaimana wujudnya adat, kebiasaan, dan budaya orang. Dari situ lantas kita bisa memilih mana yang bisa kita adopsi dan mana yang sebaiknya tidak kita tiru.

Selain membuka wawasan, tentunya hidup di luar negeri, juga membawa manfaat-manfaat praktis. Yang terutama, banyak kesempatan jalan-jalan. Jalan-jalan ini tidak harus mahal. Misalnya pergi ke pantai yang sangat terjaga kerapihannya dan lengkap fasilitasnya (kamar bilas, toilet, tempat sampah, parkir), tidak dipungut biaya. Juga taman-taman umum yang luas, bersih, dan menyegarkan dan juga lengkap dengan ubo-rampenya (alat-alat fitness, barbeque, toliet, parkir), tidak memungut biaya bagi pengunjungnya. Dengan mengalami begini, kita jadi tau sampai sejauh mana, negara tercinta kita Indonesia ini, melayani kebutuhan rakyatnya.

Manfaat lain yang sudah pasti adalah kita bisa menjadi warga dunia. Artinya dengan sudah menjalani kehidupan di luar negeri, kita tidak akan “takut” pergi kemana-kemana karena kita sudah tahu caranya berkomunikasi dengan mereka dan sudah memahami bagaimana mereka berinteraksi dengan orang. Dengan hidup di luar negeri, kita mau tidak mau dipaksa untuk bisa berbahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris, tentunya apabila Anda bergaul secara luas dengan semua orang, bukan hanya dengan sesama teman Indonesia saja (Anak saya saja malah bahasa Inggrisnya lebih bagus daripada saya). Saya yakin, dengan keterampilan bahasa ini dan juga pemahaman Anda tentang budaya orang, kemanapun Anda pergi, tidak akan takut. Anda misalnya kalo disuruh tinggal di kota lain, misalnya ‘kamu harus pindah ke Middlesbrough tahun depan ya selama setahun’, pasti Anda tidak akan blingsatan kalo Anda pernah tinggal di luar negeri (misalnya di Sydney), daripada kalo Anda yang seumur-umur tinggal di Solo, misalnya. Atau tiba-tiba Anda entah bagaimana nyasar di bandara di Sevilla sana (yang belum pernah Anda kunjungi), tentu Anda tidak akan bingung kalo Anda sudah pernah tinggal di luar negeri (di mana pun), dibanding dengan misalnya Anda yang selamanya tinggal di Makassar sana.

Kalo punya duit banyak, Anda akan lebih beruntung lagi, bisa menjelajah tempat-tempat lain. Pengalaman saya, setelah memeras keringat membanting tulang seperti saya sampaikan sebelumnya, saya yang tinggal di Perth selain bisa pergi ke kota-kota sekitar sini, juga bisa jalan-jalan ke Melbourne, Sydney, Gold Coast, Brisbane, Auckland dan mengunjungi tempat-tempat wisata di sana. Atau waktu saya sekolah di Amerika, saya bisa pergi ke Washington DC, Pittsburg, San Fransisco, Los Angeles, Las Vegas. Apakah saya pamer maksudnya nulis ini? Bukan, ini cuman mau mingin-minginin Anda saja!

Terus gak enaknya tinggal di luar negeri? Seperti yang saya bilang tadi, yang gak enak pun sebenarnya ‘enak’ juga, jadi mari tidak kita bicarakan hal ini di sini lagi!

Terakhir, tentang sekolah PhD itu? Harus diakui bahwa sekolah PhD lumayan berat, karena itu adalah jenjang tertinggi akademik. Memang dibutuhkan kerja keras dan daya tahan yang tinggi. Tapi sejujurnya saya tidak merasakan berat-berat amat kok. Memang ada kalanya semangat naik turun, tapi kalo kita bisa ingat kembali kepada tujuan sebenarnya tinggal di luar negeri, saya yakin kok bisa selesai. Saya rasa kata kuncinya satu: kita bisa memanfaatkan waktu secara efektif. Saatnya nulis ya nulis dengan benar, saatnya cari duit ya cari duit, dan saatnya jalan-jalan sama keluarga ya silakan jalan-jalan. Saya aja yang tidak pernah lembur di kampus (saya hanya di kampus dari jam 9 pagi sampai jam 14, Senin sd Jumat, Sabtu Minggu libur), bisa selesai kok! Oya, satu kunci lagi: bahasa Inggris Anda harus bagus, karena itu akan mempercepat pemahaman waktu membaca, memudahkan komunikasi, dan juga memudahkan waktu menulis. Itu aja!

Kesimpulannya? Ayo pada sekolah di luar negeri! Lebih banyak enaknya daripada tidaknya. Percayalah! Kan yang nulis ini seorang PhD!

Kamis, 27 November 2014

Tinggal printilannya


Habis itu, apa yang harus saya lakukan? Ternyata tidak begitu penting-penting lagi. Saya segera periksa revisi apa yang harus saya lakukan berdasar penilaian dari Emaniner 1, karena Examiner 2 tidak menyuruh revisi apapun. Setelah saya liat, ada 18 item yang harus diperbaikin tapi ternyata hanya masalah bahasa aja dan juga sedikit perubahan kalimat biar jelas. Ini sih gampang banget!

Lalu saya email Ibu Prof yang baru, apa yang harus saya lakukan. Ternyata beliau mau wawancara langsung lewat skype. Ya sudah pada hari dan jam yang ditentukan, terjadilah ngobrol jarak jauh itu. Semuanya beres, saya diberi waktu dua minggu buat revisi. Dua minggu kemudian revisi saya kirim ke dia. Dia tidak ada perlawanan, semuanya setuju. Kemudian diteruskan ke ketua dewan penguji. Sama, dia juga gak ada perlawanan. Jadi tugas saya selesai.

Oya, setelah saya liat, ternyata examiner 2 yang tidak menyuruh apa-apa itu malah merekomendasikan bahwa saya layak untuk diberi penghargaan dari Rektor sebagai salah satu tesis terbaik! Ah yang bener? Ternyata bener! Ibu Prof yang baru juga bilang bahwa rekomendasi sudah diteruskan ke tingkat universitas untuk dipertimbangkan! Wow!

Jadi? Ya begitulah, semua sudah selesai dan saya bentar lagi menyandang gelar PhD (dan juga dapet penghargaan dari Pak Rektor!). Cihuy!

Selesai sudah petualangan saya empat tahun di Australia!

Dengan ini saya putuskan...


Akhirnya, setelah menunggu yang tak pasti, tanggal 21 Oktober (alias tiga bulan kurang sembilan hari), saya mendapat email dari Chair Commitee alias ketua dewan penguji. Emailnya kayak gini:

Dear Budi,

I have now received examiner reports of your thesis (attached). Both examiners have recommended pass –B1 and A. Well done and congratulations.
Both examiners have recommended some revisions and amendments.  Could you please organize to revise the thesis in consultation with your supervisor?

Wuhuyy!!! Tenyata saudara-saudara, saya dinyatakan lulus! Bukan hanya lulus, melainkan satu examiner nilainya A (alias tidak perlu revisi sama sekali) dan satunya lagi B1 (alias lulus dengan minor revision)!

Saya segera forwardkan email tadi ke istri saya dan ke mantan Prof saya biar pada segera tahu. Tidak lupa juga telpon ke orangtua yang sebenarnya tidak begitu paham kenapa kok saya gak segera dinyatakan lulus.

Abis itu langsung saya pasang headphone di telinga saya, colokin ke iPhone dan setel lagu ‘We are the Champions’ dari Queen yang saya beli seharga $1.9 di Itunes. Volume disetel pol. Begini liriknya:

I've paid my dues
Time after time.
I've done my sentence
But committed no crime.
And bad mistakes ‒
I've made a few.
I've had my share of sand kicked in my face
But I've come through. 
(And I need just go on and on, and on, and on)

We are the champions, my friends,
And we'll keep on fighting 'til the end.
We are the champions.
We are the champions.
No time for losers
'Cause we are the champions of the world.

Hahaha rasanya udah paling top sedunia! 

Menunggu, Part2


Walaupun saya sudah pulang dan menikmati makanan enak-enak di Indonesia dan juga hidup dengan kebanggaan ‘semu’ sebagai seorang PhD baru, sebenarnya saya dalam hati menduga-duga apa yang akan terjadi dengan tesis saya itu. Apakah saya lulus, lulus dengan revisi, apakah harus submit ulang, ataukah malah tidak lulus? Yang terakhir ini amit-amit deh!

Tesis sudah saya submit tanggal 1 Agustus. Sesuai petunjuk di website, saya minimal menunggu enam minggu sebelum saya mendapatkan penilain dari examiner. Wah ini enam minggu sudah berlalu kok saya belum mendapatkan hasil apa-apa? Ada apa nih? Saya juga tidak mendapat ‘bocoran’ dari profesor saya yang sekarang sudah mantan itu.

Karena sudah tidak sabar menunggu, tanggal 22 September (sesudah tujuh minggu sejak submit) saya email ke mantan Prof saya itu. Tentunya saya tidak langsung menanyakan bagaimana hasil tesis saya (gengsi dong!). Malah sebaliknya, saya ceritakan bahwa kami sekeluarga sudah kembali dengan baik-baik di Indonesia, si Aby udah sekolah, saya udah balik kerja, jalanan masih macet, polusi masih tinggi, bla bla bla. Saya sama sekali tidak nanya masalah tesis itu.

Wah tumben si Prof gak langsung bales email saya (mungkin setelah mantan, dia jarang buka email). Tanggal 26 dia baru bales email. Ternyata dia lagi sibuk dengan keluarganya dan ultah anaknya. Dan juga ternyata dia sakit (gak tau sakitnya apa) dan akan perlu operasi. Waduh! Perihal tesis, malah dia menyampaikan bahwa terjadi pergantian examiner, karena ternyata si Ibu Prof yang waktu itu hadir di konferensi saya batal menjadi examiner karena mau pensiun. Cilaka nih, tambah lama aja prosesnya. Akhirnya dia mengajukan dua nama lainnya, sebagai ganti Ibu Prof itu.

Kembali saya menunggu di tengah ketidakpastian. Kalo menunggu Part 1 dimana draft tesis saya serahkan ke Prof untuk diteliti, lebih pasti waktunya yakni sekitar tiga minggu, maka menunggu Part 2 yakni pengumuman dari examiner ternyata lebih lama dan lebih tidak pasti lagi...

Selasa, 25 November 2014

Balik Beneran ke Indonesia


Akhirnya selesai sudah empat tahun saya di Australia. Pas tanggal 1 Agustus 2014, saya balik lagi. Saya sendiri kadang bertanya-tanya kok ya submitnya pas di hari terakhir beasiswa (yang lewat sehari aja langsung kena denda), kok kayak gak ada hari lain aja. Sebenarnya saya maunya submit sebelumnya tapi apa boleh buat karena harus lebaran di rumah (maklumlah udah empat kali saya berlebaran di Perth yang percayalah rasanya gak enak), situasinya jadi ribet kayak gitu.

Lalu gimana rasanya balik? Yang pasti hampir semua orang yang saya kenal, menyangkanya saya udah lulus, alias sudah menjadi PhD. Kenyataannya saya masih harus nunggu lagi penilaian dari dua orang examiner yang bisa memakan waktu minimal enam minggu sampai dengan setengah tahun, begitu kata website Curtin. Nanti examiner akan menilai apakah tesis saya lulus dengan tanpa revisi (biasanya disebut lulus dengan nilai A di sini), lulus dengan sedikit revisi (nilai B1), lulus dengan banyak revisi (nilai B2), tesis harus disusun ulang (nilai C), atau malah gak lulus (nilai D). Amit-amit dah! Berhubung orang-orang yang ketemu saya selalu ngucapin ‘wah , selamat ya udah jadi Doktor!’, saya ya bilang terima kasih aja, soalnya rada susah kalo mau jelasin ke semua orang itu bahwa kira-kira nanti setengah tahun lagi baru saya jadi PhD beneran!

Yang paling ‘lucu’ adalah kejadian kemarin dulu waktu ada acara akad nikah salah seorang saudara saya. Saya kebetulan ditunjuk sebagai wakil dari pihak mempelai laki-laki untuk memberikan sambutan pengantar dalam acara akad nikah (rupanya salah satu tugas dari seorang PhD adalah memberi sambutan kalo ada acara keluarga!). Saya sama nyonya berdiri di paling depan, di depan calon pengantin beserta para pengiringnya di belakang. Sesuah siap, MC acara pun berkata ‘marilah kita ikuti sambutan dari keluarga calon mempelai pria, Bapak Budi Susila, Ak., MA, PhD’. Waduh, baru sekali itulah nama saya disebut lengkap beserta gelar-gelar akademis saya, bahkan termasuk ‘PhD’ yang belum resmi saya sandang itu! Entah siapa yang memberikan informasi gelar lengkap saya itu. Mungkin juga dirancang begitu supaya terlihat mentereng dan supaya ‘gak kalah’ sama pihak calon besan, kan gak setiap keluarga ada PhDnya! (Halah!). Tentu saja saya rada tersenyum mendengar pengantar dari MC tersebut, dan lalu saya memberikan sambutan dengan gaya yang sok berwibawa, yang kira-kira pantas keluar dari seorang Doktor beneran. Untunglah kayaknya semuanya cukup puas dengan PhD gadungan ini!

Sementara menunggu hasil dewan penguji tesis, saya pun juga harus balik ke kantor saya di Kementerian Keuangan (kan saya ikatan dinas!). Kembali semua orang yang ketemu menyelamati saya, saya saya mah terima kasih aja. Sekali lagi, menjelaskan bahwa saya belum PhD beneran rada sulit, sehingga ya saya iya-iya aja (sambil sedikit meninggikan mutu!).

Waktu dulu sebelum pulang, pihak International Office Curtin pernah ngadain seminar tentang ‘going home’ bagi calon mahasiswa yang udah mau pulang selamanya. Salah satu yang diwanti-wanti mereka adalah adanya reverse culture shock, yakni kejutan budaya di tanah air setelah sekian lama ditinggalkan. Apakah saya mengalami hal itu? Kayaknya sih gak juga, soalnya Indonesia terutama Jakarta ya gitu-gitu aja, tidak membuat terkejut dan bingung. Jalanan lebih macet itu sudah pasti, orang-orang gak mau antre ya saya sudah maklum dan gak perlu ngomel-ngomel. Sepeda motor melanggar lampu merah? Tidak aneh lagi. Nyari parkir di mal sulit? Cerita lama! Cuman cuaca panasnya yang gak nahan, tapi itupun dua minggu udah biasa lagi.

Yang culture shock justru menyenangkan, yaitu harga makanan lezat nan murah banget! Kalo biasanya mie ayam di Bintang Cafe harganya $8.5 maka di Bakmi GM cuma Rp22 ribu alias gak ada tiga dolar. Lontong sayur yang enak banget deket rumah cuma Rp11 ribu, cuman satu dolar kira-kira! Gado-gado enak deket lapangan tenis tempat saya main cuma 14rb! Cuman sayangnya ada satu yang mengganjal: penghasilan saya sekarang dalam rupiah. Jadi ya impas lah!

Kayaknya yang paling senang kami pulang,ya anak saya si Aby. Dia bisa ketemu saudara-saudara yang kecil-kecil (maklum dia anak tunggal), terus bisa nginep di tempat mereka. Dia juga masuk SMP (swasta Islam) yang besar banget yang dia cita-citakan (entah kenapa dia ingin ke sekolah itu juga saya gak tau) dan ketemu teman-teman baru. Walaupun saya yakin dia agak kesulitan pakai bahasa Indonesia di sekolah (sekolahnya pakai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar), karena sampai sekarang saya sekeluarga pakai bahasa Inggris di rumah!

Minggu, 23 November 2014

Hari Keramat Telah Tiba

Setelah mendapat masukan dari Pak Prof dan masuk bengkel bahasa, maka tesis saya siap untuk diserahkan kepada pihak universitas untuk diteruskan ke examiner alias dewan penguji. Tampaknya sih sederhana, tapi ternyata prosesnya cukup ruwet!

Mengapa demikian, karena itu saatnya pas dengan bulan Ramadhan. Ceritanya kan keluarga saya udah pulang pertengahan Mei 2014 karena kontrakan apartemen saya udah habis. Lalu saya melanjutkan sendiri menulis tesis di rumah temen di Perth. Kemudian menyerahkan draft akhir tesis ke Pak Prof, abis itu saya pulang (habis mau ngapain lagi di Perth, kan gak ada kegiatan). Tiga minggu kemudian saya balik ke Perth, ketemu Prof terus betulin draft komplet. Abis dibetulin, terus dijilid, lalu dikasih ke editor bahasa (proofreader). Abis itu balik lagi ke Jakarta karena ya gak ada kegiatan lagi dan juga karena udah bulan puasa. Tiga minggu kemudian si editor ngemail bahwa kerjaannya udah selesai, sehingga saya harus terbang lagi ke Perth untuk mendiskusikannya. Kemudian keluarga menyusul ke Perth tanggal 16 Juli 2014 untuk melakukan wisuda (pura-pura). Seminggu jalan-jalan, keluarga balik lagi ke Jakarta karena mau lebaran, saya menyelesaikan editing. Saya akhirnya pulang juga ke Jakarta walaupun editing belum saya selesaikan, soalnya udah lebaran minus tiga hari. Bayangin sibuknya bolak balik!

Nah, babak-babak terakhir itulah situsasi jadi ruwet. H minus tiga lebaran mendarat Jakarta, H minus dua terbang ke Salatiga untuk berlebaran, kemudian H plus dua balik Jakarta, lalu nyambung ke Perth lagi tanggal 30 Juli 2014. Sementara paling lambat saya harus submit terakhir tanggal 1 Agustus 2014, lewat itu saya harus bayar pakai duit sendiri biaya kuliah kira-kira $90 per hari (dihitung harian sampai dengan saat menyerahkan tesis). 

Nyampai Perth sore hari, langsung saya lanjutkan editing. Setelah selesai saya print malem tanggal 31 Juli, besoknya yakni 1 Agustus 2014, hari terakhir deadline,  saya ketemu dengan Prof saya di sebuah kafe untuk melapor bahwa saya siap submit (sebelumnya udah janjian dulu) dan meminta doa restu (halah!). Di akhir pertemuan, saya merayu si Prof untuk menandatangani surat pengantar submit, siapa tau masih ‘laku’ walaupun dia sudah diberhentikan oleh Curtin. (Catatan: Karena Prof saya udah gak kerja di universitas, dia tidak berwenang menandatangani surat pengantar submit. Supervisor yang baru, Ibu C, adalah pejabat universitas yang sangat sibuk, dan sialnya pas tanggal itu dia ada di Sydney ada acara, baliknya nanti sesudah tanggal keramat 1 Agustus, sehingga kalo nunggu dia, maka saya bisa relat submit dan saya harus bayar dendanya).

Abis ketemu si Prof itu, saya ke kampus untuk mengambil surat pengantar submit asli yang saya titipkan ke sekretaris Prof C itu untuk ditandatangani supervisor baru. Eh, dasar ini sekretaris oon, suratnya ternyata gak disampaikan ke Ibu C. Pas saya dateng ke sekretarisnya (yang tidak muda itu), dia bilang ‘gak ada kok formulirnya’ dengan tanpa perasaan bersalah. Saya rada ngotot juga ‘udah kok dikirim lewat email, coba dicek’. Terpaksa kita berdua ngecek inbox di emailnya dia, dan benar, email saya ngejogrok dengan manis di situ, tanpa pernah dia buka. Walah! Untunglah saya udah punya surat pengantar submit ‘cadangan’ yang ditandatangani prof asli saya tersebut. Kalau tidak ya saya harus nunggu si Ibu dateng ke Perth yang entah kapan, sambil bayangin berapa denda yang harus saya bayar.

Akhirnya tesis beserta surat pengantar cadangan dengan selamat saya setor ke pihak univeristas, dan lalu mendapatkan tanda terima submit, sebuah dokumen yang sangat berharga dan maha penting, yang menandakan bahwa saya sudah selesai sekolah dan boleh pulang! Periode empat tahun paling berat dalam hidup saya  sudah berakhir. Segara saya beli tiket balik dan malemnya pulang langsung ke Jakarta dengan perasaan merdeka semerdeka-merdekanya! Prinsipnya: yang penting submit dulu, urusan hasil belakangan! 

Jumat, 21 November 2014

Hore Saya (Pura-puranya) Diwisuda...


Momen paling berkesan bagi seorang yang sekolah adalah kalo sudah diwisuda, benar? Tapi bagi saya tidak. Mengapa? Karena saya cuman diwisuda pura-pura aja!

Begini maksudnya: kan di Curtin itu banyak mahasiswa asingnya baik S2 maupun S3. Nah, kalo untuk mahasiswa S2, berakhirnya semester berarti mereka udah beneran lulus, dan berhak mendapatkan ijasah. Nah, buat mahasiswa S3, berakhirnya semester berarti ya tidak berarti apa-apa, karena sekolah dinyatakan berakhir apabila telah submit tesis. Nah, tiap akhir semester, pihak International Office di Curtin menyelenggarakan wisuda bagi international student-nya. Ini bukanlah wisuda resmi dengan segala rektor dsb yang hadir, melainkan untuk melepas mahasiswa internasional yang mau pulang karena selesai S2 dan waktunya sebelum ada wisuda tingkat universitas yang besar acaranya tapi dilakukan kira-kira tiga bulan setelah semester berakhir. Nah kan gak mungkin mahasiswa internasional ini nunggu 3 bulan di Perth untuk nunggu wisuda (bisa bangkrut dia) atau pulang dulu terus nanti balik lagi untuk diwisuda tiga bulan kemudian (kan boros!). Nah untuk itulah diadakan acara khusus oleh Curtin untuk mewisuda S2 ini.

Lha yang S3 kenapa ikut diwisuda? Ingat, murid S3 akan pulang setelah submit tesis. Nah, tiap orang kan pulangnya berbeda-beda karena submitnya kan beda-beda tanggal. Untuk itulah buat mahasiswa S3 yang kira-kira selesai semester ini, diikutkan juga untuk ‘wisuda’ alias pura-pura sekaligus perpisahan buat mereka (termasuk saya ini). Tapi pura-puranya ini beneran lho, pake toga segala, untuk S3 pake toga ungu biar terkesan angker dan sekaligus bijaksana! Untuk itulah pada pertengahan Juli ini kami sekeluarga balik lagi ke Perth (ingat, keluarga sudah saya pulangkan Mei sebelumnya). Ini di tengah-tengah bulan puasa lho! Mana musim dingin lagi! Tapi demi sebuah foto wisuda, maka kamipun meluncur ke lokasi dengan pakaian formal jas buat saya sama Aby, sama kebaya buat nyonya. Uhuy! Bayangin winter pakai kebaya.

Upacara diadakan di stadion Curtin yang megah itu. Keluarga para wisudawan juga pada dateng (keluarga saya gak ada yg dateng—kecuali anak dan istri, kan berat di ongkos). Kira-kira yang diwisuda adalah 30 orang terdiri dari 8 ‘wisudawan’ S3 dan sekitar 20an S2 (beneran). Tidak pakai gladi resik segala, kami dipanggil satu-satu masuk panggung. Setelah duduk, lalu dipanggil satu-satu untuk menerima ‘ijasah’ (padahal isinya cuman ucapan selamat berpisah), dengan disebutkan nama, asal negara, judul tesis, sama nama profesor pembimbingnya (Pak Prof khusus saya undang walaupun dia sudah pengangguran!). Tidak lupa pula difoto waktu penyerahan ‘ijasah palsu’ itu dan disalamin entah siapa (yang pasti bukan rektor), sambil senyum lebar seolah-olah sekolah selesai. Padahal submit aja belum!

Habis acara, foto-foto dengan bahagia (enggak bener-bener bahagia, karena belum lulus), foto bersama Pak Prof, sama yang lain-lain, sambil nyengir sana sini. Terus juga foto-foto di berbagai macam lokasi kampus berpindah-pindah, sampai haus banget (kan puasa!).  Maklum baju toga pinjaman harus dibalikin paling lambat jam 14 hari itu juga! Tidak lupa istri saya majang-majang foto ‘wisuda’ tadi di media sosial: facebook, path, instagram dsb., biar dikira lulus! Terpaksa saya terima kasih aja diucapin selamat sama temen-temen.

Walaupun pura-pura wisuda, tapi ternyata lumayan lho foto-foto dengan toga yang serem itu. Rasanya kayak udah lulus beneran!

Rabu, 19 November 2014

Sekolah di Australia dalam Angka

1-Jumlah tesis (alias disertasi) yang harus diselesaikan dalam prgram PhD

1.5-plus dalam kacamata baca saya. Waktu berangkat saya Cuma plus 0.75

2-Jumlah minimal artikel jurnal yang disyaratkan Profesor saya selama saya studi PhD. Juga jumlah minimal konferensi yang harus saya ikuti (bukan sekedar ikut melainkan presentasi).

2- Jumlah organisasi kedaerahan yang kami ikut di dalamnya: MSWA (Mitra Sunda od Western Australia,  istri saya turunan Sunda) dan ASWA (Aceh Society of Western Australia, istri saya juga turunan Aceh)

3-Jumlah kelompok pengajian yang diikuti istri saya di Perth: Annisa (ibu-ibu permanent resident), Pengajian Muslimah (ibu-ibu di kelurahan tempat kami tinggal), dan PPIP (pengajian keluarga di sekitar Curtin di mana saya pernah jadi pengurusnya)

3-Jumlah bulan yang diperlukan sejak men-submit tesis sampai dengan mendapat nilai dari examiners

3.17-MB-Ukuran file tesis saya dalam bentuk pdf. Bayangin, empat tahun sekolah hanya menghasilkan file sekecil Itu! Bahkan satu flashdisk pun masih tersisa banyak banget!

4-Jumlah tahun yang diperlukan untuk mendapatkan gelar PhD. Saya ingat bener pasti 4 tahun, karena saya datang pas Piala Dunia 2010 dan pulang pas Piala Dunia 2014. Saya kan penggemar dan pemain bola!

4-Jumlah lebaran saya di Perth: 2010, 2011, 2012, 2013. Mau lebaran di Indonesia ongkosnya mahal. Sakitnya tuh di sini hahaha

6.95-dolar, harga Pizza Hut seloyang besar kalo hari Selasa, kayaknya lebih murah daripada harga di Indonesia. Hari lain harganya $12

8-Jumlah bab dalam tesis saya

8.9-dolar, harga mie ayam jamur di Bintang Kafe langganan saya

9.5-dolar, harga Big Mac plus kentang besar plus Coke besar di McD

9.9-dolar, harga soto lamongan di Batavia Kafe langganan saya, tidak termasuk nasinya

14-jumlah pemain bola waktu Aipssa FC (kesebelasan student dan keluarganya yang saya bina di Perth) berdiri. Waktu saya pulang ke Indonesia jumlah pemainnya 37 orang

16-Jumlah halaman yang diperlukan untuk merinci referensi dalam tesis saya

17.5-dolar, harga seekor ayam panggang Nandos yang enak banget

22-dolar, harga seporsi fish and chips di Cicerello, Fremantle yang biasanya kami pesan. Nama menunya seafood basket, isinya ikan, udang, cumi, sayur gorang plus kentang goreng yang banyak banget. Dimakan berdua, biar ngirit sekaligus kenyang

48-derajad Celcius. Suhu maksimal yang pernah saya alami di Perth waktu musim panas. Suhu minimal minus satu waktu musim dingin

50- dolar,  sumbangan tahunan sukarela untuk sekolah Aby anak saya. Tahun pertama jumlah ini saya bayar, tahun berikutnya gak saya bayar, kan sifatnya sukarela jadi bayar boleh tidak juga boleh. Maklum saya orangtua golongan sangat sederhana sekali

69-dolar, harga tenda yang saya beli untuk kemping. Bisa muat 6 orang

72-Nomor bis jurusan ke City dan kampus dari apartemen kami

75-Sama dengan nomor 72 di atas

78-dolar, biaya langganan tv kabel sebulan supaya saya bisa nonton Liga Inggris langsung

80-dolar, harga mobil Hyundai saya waktu saya jual tahun 2014 sebagai besi tua. Belinya $1700 tahun 2010

150-dolar, biaya kursus karate Aby selama sebulan

242-Jumlah daftar pustaka (referensi) dalam tesis saya. Masih jauh dibandingkan dengan syarat menjadi PhD di Duke University yang minimal 300 sebagaimana saya baca dulu waktu ngambil S2 di sana. Untung saya gak ngambil S3 di Duke!

283-Jumlah halaman tesis saya

350-dolar, sewa seminggu apartemen dua kamar saya. Waktu dateng sewa apartemen satu kamar $265 per minggu

504-dolar, harga tiket Garuda Perth-Jakarta pp. Belakangan harga naik menjadi $580

1.300-dolar, uang sponsorship Garuda Indonesia untuk memasang logo di kaos tim Aipssa FC

9.026-Jumlah paragraf dalam tesis saya

15.922-Jumlah baris dalam tesis saya

93.017-Jumlah kata dalam tesis saya. Jumlah maksimal yang diijinkan dalam tesis di Curtin adalah 100.000 
kata. Untung gak lewat!

Minggu, 16 November 2014

Masuk Bangkel Bahasa


Betul juga sesuai yang saya perkirakan, perbaikan yang diminta Prof bisa saya selesaikan dalam waktu seminggu. Memang tidak banyak sih. Abis itu langsung saya setor ke proofreader. Apa itu proofreader? Ini adalah orang yang bertugas mempelototi penggunaan bahasa Inggris untuk suatu karya ilimiah, misalnya paper atau jurnal, atau dalam kasus ini tesis saya yang sudah selesai secara ‘teknis’ (artinya sudah dioke-in oleh Pak Prof untuk di-submit).

Saya segera kontak si W yang sudah merupakan langganan kampus. Dia ini udah pernah saya pakai buat meriksa bahasa Inggris di paper kedua saya untuk jurnal. Waktu itu paper kira-kira sebanyak 20 halaman ongkosnya $480, dia menghitung 8 jam kali @$60/jam. Wah, lumayan juga ya taripnya, cuman meriksa gitu doang, dapet duit $60 per jam. Saya terus mikir, lha tesis saya ini tebalnya 260 halaman, terus bayarnya berapa? Padahal jatah duit saya tinggal $2800, cukup gak ya?

Oya perlu saya kasitau dulu peraturan pekerjaan ini. Seorang proofreader tidak boleh membetulkan sebuah tesis di softcopy. Dengan kata lain, dia harus menerima satu jilid tesis utuh. Kemudian dia mencoret-coret di situ kata atau apapun yang salah, kemudian si student sendiri yang harus membetulkan di tesis aslinya. Jadi maksudnya adalah bahwa si student harus tau mana yang salah (setelah ditandai oleh si W tadi), dan kemudian membetulkannya (sesuai arahan si W). Emang betul sih, kalo kesalahan dibetulin sama si W langsung kan saya gak tau apa salah saya. Walapun sebenarnya lebih enak sih! Tapi apa boleh buat peraturan tetap peraturan! Ketika saya tanya si W dia mau softcopy apa hardcopy (dengan harapan siapa tau dia betulin di softcopy kan saya gak begitu repot), ternyata dia gak mau. Sesuai aturan dia maunya hardcopy. Ya sudahlah. Dia berjanji akan menyelesaikan kerjaan memeriksa seluruh tesis kira-kira selama 3 minggu.

Karena abis nyerahin tesis gak ada lagi yang saya kerjain, ya saya balik lagi ke Indo, nungguin berita dari W. Langsung saya liburan lagi. Emang enak kalo udah mendekati akhir-akhir gini. Banyak liburnya. Kemarin abis nyerahin draft ke Prof, saya doing nothing 3 minggu. Kini, abis nyerahin ke W, saya libur lagi 3-4 minggu!  Berlainan dengan liburan pertama setelah nyerahin draft tesis ke Prof terus sayanya harap-harap cemas nunggu komentar sang Prof, kali ini saya nyantai-nyantai aja, sambil banyak begadang nonton Piala Dunia di TV. Abis ngapain lagi wong cuma koreksi bahasa doang kok!

Tepat tiga minggu kemudian, email si W dateng dan nyuruh saya meluncur ke Perth. Saya segera meluncur. Begitu ketemu: bener kan banyak salahnya! Terutama adalah penggunaan article a, the, dsb. , penggunaan kata depan macam to, with, between, penggunaan tanda baca koma, titik koma, dsb. Kemudian beberapa kalimat yang gak nyambung. Terus tabel yang tidak rapi, daftar referensi yang tidak sesuai aturan (ada banyak aturan untuk membuat referensi, misalnya APA, Chicago Style, Harvard Style, dsb.). Yang paling malas saya adalah membetulkan daftar referensi, yang apa boleh buat tidak seluruhnya saya laksanakan arahan si W ini. Abis gak ada waktu lagi!

Yang paling menggelikan adalah kesalahan kecil tapi lucu, yaitu waktu saya nulis ‘World Bank’ malah tertulis ‘World Cup’ gara-gara saya kebanyakan nonton Piala Dunia. Ini coretan si W:


Oya untuk kerjaan tesis sebanyak 200an lebih halaman ini, si W minta bayarnya $2600. Untung duit saya masih $2800, sehingga sisa $200!

Segera saya lakukan koreksi yang diperlukan, yang memakan waktu seminggu lagi untuk kemudian disetor alias di-demit, eh di-submit untuk mendapatkan penilaian akhir. Inilah babak paling mengkhawatirkan!

Kamis, 13 November 2014

Pak Prof Memanggil

Pada waktu saya menyerahkan draft tesis saya, Pak Prof nanya bagaimana caranya kita ketemu, soalnya saya udah lapor mau mulangin keluarga ke Indonesia. Saya bilang saya siap kapan aja, tinggal email, nanti saya langsung beli tiket Jkt-Perth secepatnya.

Benar juga, tiga minggu setelah saya mendarat di Serpong, pak Prof ngemail bilang bahwa beliau sudah selesai meriksa draft tesis saya dan siap untuk mendiskusikannya. Segera tanpa nunggu waktu, saya beli tiketnya. Saya mendarat di rumah temen di Perth (kan apartemen saya udah habis kontrak!), lalu besoknya saya meluncur ke kafe yang sudah dijanjikan (kan dia udah gak punya kantor lagi di kampus, kasihan ya?). Saya sengaja datang lebih pagi dari waktu yang dijanjikan dan segera mengetek meja. Seperti biasa beliau tepat waktu. Langsung saya tawarin minum (saya yang bayarin dong!). Segera kita ke pokok masalah, dengan saya yang rada grogi menunggu apa vonis si Prof terhadap tesis saya tadi.

Langsung ke pokok masalah, ternyata si Prof bilang bahwa secara overall tesis saya fine-fine aja. Apa artinya ini? Biasanya (misal waktu saya setor draft artikel jurnal atau paper konferensi) dia selalu bilang ‘very good’, tapi kenapa sekarang cuma ‘fine’? Ya sudahlah, yang penting dia menerima dengan baik dan bilang bahwa beberapa tabel kurang pas penyajiannya, beberapa bagian kurang rapi, kalau yang lain-lain dia juga membuat catata-catatan dengan bolpen merahnya yang khas. Di kafe itu kami bahas satu-persatu ‘kesalahan’ yang harus diperbaiki, sampai jelas betul apa maunya dia. Lumayan juga durasi pertemuan ini, nyaris dua jam. Kesalahannya enggak banyak sih, tapi tersebar di draft setebal lebih dari 200 halaman itu, sehingga perlu waktu juga untuk membetulkannya.

Tapi setelah saya liat-liat, ternyata tidak ada kesalahan yang ‘parah’ yang tidak bisa saya handel. Semaunya managable. Saya perkirakan cuma perlu waktu seminggu buat memperbaikinya. Terus abis ini saya apakan nih? Ternyata beliau sudah cukup puas. Katanya kalo semuanya sudah selesai, tidak perlu lagi ketemu dia untuk diskusi, melainkan langsung aja dimajukan ke pihak univeristas untuk dinilai setelah terlebih dahulu diedit bahasanya. Dan untuk itu saya harus menyewa proofreader (tukang benerin bahasa inggris) untuk memperbaikinya.

Habis pertemuan itu saya lega, ternyata kekhawatiran saya tidak terbukti. Ternyata tesis saya baik-baik saja dan layak untuk di-submit. Kalo Pak Prof bilang begitu, ya berarti memamng begitu! Ternyata begitu doang...

Rabu, 12 November 2014

The Moment of Enggak PD

Sebenarnya waktu saya menyerahkan draft tesis saya ke pak Prof, sejujurnya saya katakan bahwa saya merasa bahwa tesis saya tersebut masih jauh dari memuaskan. Bagaimana tidak, kalo saya liat tesis-tesis yang lain, terutama tesis murid kesayangan Pak Prof dari Malaysia yang diberikan ke saya sebagai contoh, memang mutu tesis saya harus diakui masih kalah jauh. Saya juga melihat tesisnya Prof A yang waktu itu ketemu di konferensi kedua saya (ternyata dia juga meriset hal yang sama (compliance costs di AS)), pada waktu dia menyelesaikan PhD nya dengan riset mengenai studi banding pajak di Australia dan Inggris, saya merasa kecil hati: kok punya saya cuma begini doang? Tapi ya apa boleh buat, itu sudah maksimal buatan saya, sementara waktu juga semakin mendekat ke deadline. Tambahan lagi: saya juga sibuk memulangkan keluarga ke Indonesia dan sibuk juga mengepak barang-barang.

Semuanya itu masih ditambah lagi dengan syarat menjadi PhD yaitu bisa menyumbangkan suatu pengetahuan dalam suatu bidang ilmu tertentu. Lha ini kan berat banget. Ukuran menyumbangkan ilmu itu kayak gimana? Apa iya penelitian saya ini sudah menyumbangkan sesuatu yang signifikan? Bagaimana kalo sumbangannya kecil, sehingga tidak cukup layak untuk dianugerahi gelar PhD? Doktor gitu, lho? Ketidakyakinan saya terutama karena pembahasan saya yang saya rasa kurang begitu dalem. Saya hanya menghubung-hubungkan temuan satu dengan yang lain secara cukup lengkap, tetapi saya sendiri tidak menjawab mengapa hal itu terjadi. Soalnya untuk menjawab mengapa-nya ini memerlukan suatu riset tersendiri karena tidak terlalu terungkap melalui instrumen penelitian saya yaitu questioner, wawancara, dan fokus grup diskusi.

Selain hal-hal di atas, saya juga merasa agak bersalah pada Pak Prof, karena selama ini dia selalu bilang ‘udah kamu tenang aja, saya liat kamu cukup bagus kok’ dalam berbagai kesempatan. Bahkan dia juga mempercayai saya membantunya sebagai research assistant dalam proyek dia mengenai carbon tax di Australia. ‘Salah’ saya sendiri juga, kenapa saya berhasil menerbitkan paper dua kali di jurnal kelas A. Dengan semua fakta itu si Prof membiarkan saya menulis sendiri, sangat sedikit dia mengarahkan saya. Supervisor yang lain bahkan mungkin meminta anak didiknya untuk menyetor satu demi satu bab terus direview dengan teliti. Kalau si Prof saya ini lain. Dia justru nanya ke saya maunya gimana cara menyerahkan draft apakah mau satu per satu atu per beberapa bagian? Lha saya ditanya gitu ya maunya borongan aja, jadi gak bolak-balik bab demi bab yang memakan waktu lama.

Akhirnya ya begitulah. Dua bab saya setor di awal, abis itu dikoreksi dikit terus maunya dia langsung sebuah produk jadi tesis, langsung delapan bab secara keseluruhan. Waktu saya kasitau cara ini ke temen-temen saya, rata-rata mereka pada heran, kok bisa ya begitu. Mereka rata-rata per bab dimajuin, sehingga makan waktu lama. Ya tpi begitulah yang terjadi pada saya.

Jadi memang seperti itu, sementara saya di Indonesia beresin rumah dan nyari sekolah buat si Aby, Pak Prof di Perth sana memeriksa draft tesis saya. Walaupun tampaknya saya menikmati liburan di Indonesia (karena tidak ada hal-hal yang akademis yang saya lakukan), dalam hati saya pikiran tidak tenang bertanya-tanya apa yang akan terjadi terhadap draft tesis saya itu.

Selasa, 11 November 2014

Australia A to Z, Edisi Serius


A-Australian Awards
Beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Australi kepada negara-negara Asia dan Afrika. Kalo dulu banget ada orang-orang yang katanya dapet beasiswa Colombo Plan, nah itu dia cikal bakalnya Australian Awards ini. Jaman saya namanya ADS (Australian Development Scholarship)

B-Brodie Hall
Tempat saya mangkal sehari-hari, yaitu di Brodie Hall Drive nomor 10. Ini adalah gedung tempat para PhD students nulis tesisnya. Juga tempat berkantor bagian administrasi kampus dan beberapa peneliti kampus. Banyak teman yang sering nginep di kampus, terutama dari beberapa negara di Asia Selatan sana, entah apa alasannya. Tiap hari saya ke kantor itu, dari jam 9 s.d. jam 14. Singkat tapi efektif, buktinya saya selesai tepat waktu (halah!). Tempat duduknya persis kayak punya anak buah saya di kantor dulu, yaitu cubicle dengan komputer dan rak tempat nyimpan buku-buku. Kalo kita browsing internet bisa keliatan ama tetangga sebelah dan juga orang yang duduk membelakangi kita.

C-Chapters
Alias bab dalam tesis. Biasanya delapan bab dalam satu tesis. Biasanya nulisnya loncat-loncat, tidak berurutan. Dua bab yang terakhir ditulis biasanya kesimpulan (bab terakhir) sama pendahuluan (bab pertama)

D-Daftar pustaka
Bagian paling belakang dari tesis. Seorang examiner dalam suatu seminar pernah bilang bahwa banyaknya referensi di dalam daftar pustaka turut menentukan kualitas tesis. Jadi kalo Anda menulis tesis, perbanyaklah referensi Anda, biar nilanya bagus!

E-Examiner
Adalah penguji tesis. Kalo di Curtin examiners harus berasal dari luar Curtin. Biasanya jumlahnya dua orang, tapi tergantung jurusan dan universitasnya. Penguji saya dua orang dua-duanya berasal dari Malaysia, satu dosen di Australi dan satunya dosen di Malaysia. Nama penguji adalah rahasia dan tidak boleh diberitahukan kepada murid yang diuji (ya iyalah)

F-Finansial
Selama studi PhD, setiap orang mendapatkan jatah dana tertentu. Jumlah ini berbeda-beda tergantung jurusan, fakultas, dan univeristas. Di CBS (Curtin Business School), jatah awal saya adalah $2500, kemudian tiap semester mandapat $700. Ini bukanlah duit yang dibagi-bagi melainkan sebagai ganti untuk pengeluaran kita selama sekolah, misalnya biaya penelitian lapangan, biaya konferensi (pendaftaran, transport, hotel, konsumsi), biaya fotokopi, jilid dsb. Jangan sampai Anda kehabisan duit ini karena kalo habis maka semua pengeluaran harus ditanggung sendiri

G-Group Meeting
Secara berkala Profesor saya sering mengadakan group meeting yang dihadiri oleh seluruh murid yang berada dalam bimbingannya. Biasanya sekitar enam orang, dengan orang yang sering ganti-ganti tergantung siapa yang sudah lulus maupun baru masuk. Kesempatan untuk ngobrol banyak sama teman-teman senasib sama sepenanggungan. Juga kesempatan untuk menikmati traktiran Prof karena dia yang bayar (perkara dia nanti reimburse ke pihak univeristas saya kurang tahu). Biasanya lokasi diadakan di kafe, dan saya biasanya pesan sarapan mahal (sekitar $20 per prsi) yang saya yakin gak akan saya pesen kalo saya bayar sendiri!

H-Health Insurance
Alias asuransi kesehatan. Asuransi kesehatan untuk keluarga adalah bagian yang paling mahal dari biaya untuk mendatangkan keluarga ke Australia. Sebabnya adalah asuransi kesehatan untuk leuarga adalah dibauar pake uang pribadi, sedangkan asuransi kesehatan untuk student ybs ditanggung oleh piahk pemberi beasiswa. Jaman saya masuk tahun 2010, asuransi sekeluarga untuk empat tahun sekitar $2000. Tahun 2014 tarif tersebut sudah naik menjadi antar $5,000 sampai $6,000 untuk periode coverage selama empat tahun, tergantung perusahaan asuarnsinya. Kalo Anda dapet beasiswa, siapkan dana ini untuk mengkover kesehatan keluarga Anda. Tanpa ini keluarga Anda tidak akan bisa dateng ke Australi karena mereka tidak akan dapat visa.

I-Internet
Asyiknya jadi PhD student adalah kita dapet akses internet tak terbatas di kampus. Mau nonton youtube sampai puas, silakan. Mau update status di FB sampe bosen, ya monggo aja. Mau browsing segala macam situs? Silakan. Mau akses situs dan video porno? Nah, yang ini diblokir sama pihak univeristas. Kadang-kadang saya keasyikan browsing berita olahraga sampai lupa bahwa saya di kampus adalah buat riset! Kalo situs detik.com malah jarang sekali saya akses di Australia, soalnya malah bikin pusing, mending yang ringan dan yang lucu

J-Jurnal
Saya diharuskan mempublikasikan artikel di jurnal oleh Prof pembimbing saya. Sebagian profesor tidak mensyaratkan hal ini. Untunglah saya berhasil menerbitkan dua buah artikel di jurnal kelas A. Seorang penguji pernah bilang bahwa daftar publikasi jurnal yang dicantumkan di tesis turut menetukan kualitas tesis. Artinya kalo Anda pernah mempublikasikan tesis, berarti semakin gampang tesis Anda dinyatakan ‘lulus’. Contohnya saya, hehehe...

K-Konferensi
Salah satu syarat dari Prof saya untuk lulus adalah minimal dua kali prsentasi di konferensi internasional, bolah di dalam negeri Australi maupun luar negeri. Beda dosen beda syaratnya, ada yang tidak mensyaratkan konferensi juga. Banyak temen yang presentasi di tempat-tampet yang jauh sekalian wisata, misalnya ke Eropa, sekalian jalan-jalan. Yang dibayarin adalah ongkos buat student-nya, sedangbkan biaya kalo bawa keluarga konferensi ditanggung sendiri. Berhubung saya rada kere, maka saya konferensinya cukup deket-deket aja, yaitu di auckland (NZ) dan Brisbane, jadi bisa bawa keluarga jalan-jalan

L-Lulus (beneran)
Setelah tesis diserahkan ke universitas, maka tesis tersebut diserahkan ke examiner. Setelah dibuat revisinya oleh student, maka diteliti lagi oleh tim penguji, setelah mereka puas, baru dikirim lagi ke univeristas dan oleh universitas baru kita dinyatakan lulus dan berhak menyandang gelar PhD. Itulah saatnya sekolah benar-benar selesai! Jarak antara submit tesis sampai dengan dinyatakan lulus berkisar antara enam bulan sampai setahun, tergantung tingkat keparahan tesisnya!

M-Mothers
Saya paling salut kalo ada ibu-ibu yang ngambil sekolah PhD sambil bawa keluarga dan lulus! Coba bayangin, selain dia harus menulis tesis kayak student yang pria yang kadang-kadang kewalahan, dia juga harus mengurus rumahnya, masak, nyiapin makan buat bekel sekolah anaknya, nyuci, dan juga sekaligus ngurus suami. Banyak lho ibu-ibu Indonesia yang ngambil PhD di Curtin. Hebat!

N-Nunggu
Terdapat dua macam kegiatan nunggu yang bikin grogi: nunggu komentar dari Prof sehabis kita nyetor draft tulisan, dan yang lebih bikin deg-degan adalah nunggu hasil review dari external examiner yang menguji tesis yang sudah kita submit. Kalo yang pertama nunggunya paling-paling dua tiga minggu, maka nunggu jenis kedua ini bisa makan waktu minimal tiga bulan, bahkan ada yang bisa enam bulan kalo examinernya kebetulan lagi sibuk!

O-Organising seminars
Sepanjang tahun secara rutin pihak univeristas selalu mengadakan bermacam-macam seminar yang bebas kita ikuti tanpa bayar meliputi berbagai macam topik sesuai keahlian para presenter yang berasal baik dari dalam maupun luar universitas. Kalo lagi iseng saya juga kadang-kadang ikut, tapi lebih seringnya tidak ikut. Khusus mengenai penulisan tesis, diadakan seminar berdasarkan bab-bab dalam tesis, misalnya minggu ini seminar mengenai bagaimana caranya menulis introduction. Kemudian lain waktu bagaimana caranya membuat literature review. Lain waktu lagi bagaimana menyajikan hasil penelitian. Atau seminar mengenai bagaimana cara menulis di jurnal. Topik lain misalnya statistik atau bagaimana caranya presentasi. Lumayan bermanfaat.

P-Pass with flying colours
Saya pernah ngikutin seminar di kampus dengan judul “Pass with flying colours”dan terus terang saya gak ngerti artinya apa istilah itu. Setelah masuk, saya baru tahu bahwa itu istilah berarti lulus dengan baik sekali. Tadinya justru saya pikir lulus dengan banyak catatan untuk diperbaiki, alias lulus dengan tidak cukup baik

Q-Quant and Qual
Alias quantitative and qualitatif. Dua macam riset metodologi. Metodologi beda lho sama riset metod. Kalo yang terakhir ini mencakup survey, studi banding, observasi dsb. Riset saya tergolong kuantitatif, tapi saya sendiri gak begitu mendalami statistik, tapi ya gapapa wong Prof saya bilang pokoknya kamu gak usah terlalu dalem ya statistiknya (apa beliau juga kurang menguasai statistik? Hihihi). Karena statistiknya cuman sedikit, saya sering minder kalo ditanya sesama temen PhD students: analisisnya pake statistik apa? Lha wong saya cuma pakai mean, median,modus, sama standar deviasi doang. Gak ada itu t-test, chi square, statistik non parametrik, distribusi normal, rada normal, ataupun gak normal sama sekali!

R-Revision
Setelah tesis disubmit (lihat entri di bawah), maka tesis dikirim ke exaaminer oleh pihak universitas, sementara si penulis udah menunggu di Indonesia dengan harap-harap cemas. Ada 4 macam penilain, yaitu A (lulus tanpa revisi), B1 (lulus dengan sedikir revisi), B2 (lulus dengan banyak revisi), C (tesis harus di-resubmit ke examiner dengan revisi besar), dan D (tidak lulus). Biasanya revisi B1 dan B2 cuman harus dikembalikan ke ketua tim penguji, bukan ke examiner awal. Revisi dilakukan di Indonesia, dokumen dikirim lewat email.

S-Submit
Sebuah kata sakti buat PhD students. Artinya adalah kita menyerahkan tesis final kita kepada pihak universitas menandakan bahwa sekolah kita udah selesai. Ini ‘selesai’ lho ya belum tentu jadi PhD, karena untuk jadi PhD tesis tadi harus duji dulu sama examiner dan dilakukan revisi (kalau ada, atas suruhan sang examiner tadi). Sehabis submit, kita dan keluarga udah boleh pulang ke Indo. Walaupun itu kata penting, tapi kata itu justru lebih sering dihindari dalam percakapan antar PhD students. Hampir tidak pernah kita tanya ke temen: kapan submit-nya? Pertanyaan yang sensitip.

T-Tesis
Kalo di Indo, namanya lebih keren yaitu disertasi, kalo di Australi cukup tesis saja. Kalo tesis di Indonesia kan untuk S2 ya? Jadi turun derajad nih!

U-University Ranking
Sayangnya universitas di Australia tidak menduduki ranking yang bagus untuk level dunia. Menurut survei terakhir Times Higher Education World Reputation Rankings 2014, hanya terdapat satu universitas di Australia yang masuk 50 besar terbaik di dunia, yaitu Melbourne University di peringkat 43. Kalah jauh dibanding Jepang (University of Tokyo, peringkat 11) dan bahkan Singapore (National University of Singapore, peringkat 21). Walaupun demikian, bagi saya yang berprinsip ‘yang penting dapat gelar PhD dari luar negeri, ranking universitas tidak terlalu penting, wong bisa dapet beasiswa aja udah syukur’ ya gak masalah!

V-Very good
Kata favorit profesor saya. Biasanya dia nulis pake tinta merah “VG” di draft tulisan saya. Tadinya saya gak ngerti apa “vg” itu, tapi lama-lama saya tau itu singkatan dari “very good”. Apakah itu basa-basi atau beneran saya gak tau, tapi yang pasti menjadikan saya tambah semangat.

W-Wisuda Kecil
Ini adalah sebuah istilah bagi student Indonesia untuk acara perpisahan untuk international students. Karena sehabis submit, murid udah pulang duluan (tidak menunggu lulus), maka oleh pihak Internatioanl Office diadakan acara perpisahan. Kalo untuk murid S2 perpisahan ini memang wisuda beneran karena mereka sudah lulus, maka untuk S3 mereka dipinjamin toga juga untuk dipakai, walaupun belum lulus beneran. Yang penting bisa foto-foto pake toga dan fotonya bisa disebarkan ke media sosial seolah-olah sudah lulus, dengan tidak lupa senyum sepuluh senti dipamerkan. 

X-X Factor
Adalah faktor-faktor yang membuat jatuh tempo sekolah tidak terpenuhi, alis molor dari rencana studi, sehinga student harus membayar sendiri biaya kuliah karena duit beasiswa udah habis. Contohnya adalah pergantian supervisor, sehingga si student harus mengubah tesisnya sesuai kehendak supervisor baru. Atau keasyikan cari duit di negeri orang sehingga lupa bahwa tujuan ke luar negeri adalah untuk sekolah, bukan cari duit. Atau justru supervisornya yang maha sibuk sehingga tidak sempat-sempat memeriksa draft tesis muridnya. Bisa juga karena (mendadak) hamil dan melahirkan, sehingga kesulitan membagi waktu.

Y-Yes
Sebuah kata favorit kalo lagi diskusi sama profesor pembimbing. Lha gimana tidak, dialah yang menentukan nasib kita apakah kita akan jadi PhD atau tidak, jadi ya banyakan ‘ya’ nya dibanding ‘tidak’. Tentu saja kalo si pembimbing lapan-enam sama kita. Banyak juga yang banyak terjadi perbedaan pendapat sama supervisor, sehingga riset dan penulisan tersendat-sendat, bahkan sampai ganti supervisor segala. Saking uniknya hubungan antara student dengan profesornya sampai secara berkala di kampus diadakan seminar bagaimana seni menjalin hubungan dan berkomunikasi dengan supervisor. Saya sih gak pernah ngikut seminar kayak gitu, soalnya kita kan pasangan yang harmonis (halah!).

Z-Zzz
Saya dulu waktu ngambil S2 di Amrik pernah mengeluh yaitu kenapa sih kok ujian mata kuliah kebanyakan paper. Coba kalo ujian model SMA gitu: datang, duduk di kolasi ujian, terus menulis di kertas jawaban. Lha soalnya bikin paper lebih sulit lho. Yang pasti harus banyak baca referensi (buku atau jurnal), kemudian ditulis menjadi paper yang panjangnya ditentukan sekian halaman. Jelas bisa memakan waktu bermingu-minggu. Bandingin dengan ujian tulis di kelas yang palingan berlangsung selama dua jam. Udah gitu bukan satu mata kuliah yang tugas akhirnya bikin paper tapi ada banyak dalam satu semester. Akibatnya pikiran selalu penuh dengan paper ini dan itu dan akibatnya susah tidur! Nah, bayangkan kalo ngambil PhD. Selama empat tahun Anda harus nulis paper terus istilahnya, dengan satu mata kuliah saja, dengan referensi yang minimal berjumlah 200 itu. Apa gak terganggu tidur Anda!

Kamis, 06 November 2014

Masih ada harapan

Ceritanya kan saya udah pulang ke Jakarta nih setelah nyerahin draft tesis ke si Prof dan sambil menunggu hasil koreksian beliau. Sembari beres-beres rumah yang kotor banget ditinggal empat tahun di negeri orang, saya tanya-tanya informasi update. Nah, saya dapat kabar bahwa sekarang angkutan umum kereta api sudah bagus banget berkat pimpinan CEO yang baru Ignasius Jonan. Penasaran dong saya.

Oke, lalu saya melakukan penelitan (biasa, naluri  PhD student!) dengan metode riset observasi (halah!), alias mencoba sendiri naik kereta api versi baru itu. Pertama saya coba rute Tanah Abang-Rawabuntu (Serpong). Saya liat antrean panjang mengular, wah berarti bagus orang Indoensia sudah bisa disuruh antre dengan benar. Waktu makin dekat ke pintu gerbang, saya curiga kok orang pada megang kartu gitu terus disentuhkan ke layar. Waduh, salah saya. Saya kira bisa masuk pake beli karcis gitu, rupanya sekarang semua udah pake kartu plastik. Wah, tambah kagum lagi, berarti sekarang udah gak akan bocor lagi nih duit PT. KAI! Ini udah sama nih kayak di negara maju!

Setelah beli kartu plastik, kemudian saya sentuhkan ke sensor, pintu pun terbuka. Semakin kagum saya ternyata sekarang kondisinya udah rapi, tidak ada pedagang, dan orangpun jauh lebih sedikit. Rupanya berkat sistem kartu, orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk, termasuk PKL. Wah, tambah keren nih! Dulu saya sering menggunakan kereta waktu masih berkantor di Gambir, pake stasiun tanah Abang juga, ramenya minta ampun dan banyak pedagang, pokoknya semrawut deh! Sekarang kondisi rame tapi terkendali. Lalu kereta datang, seperti biasa penumpang berebut masuk. Hm, lebih tertib daripada dulu. Dulu banyak banget orang yang menggelar koran di lantai kereta atau pake kursi lipat. Sekarang ada larangan. Perjalanan juga singkat, sekitar 30 menit Tanah Abang-Rawabuntu. Keluar stasiun juga ngantri lagi untuk meng-tag kartu plastik.

Wah pokoknya keren lah itu. Bahkan saya denger juga sekarang sudah tidak ada lagi orang yang naik di atas kereta. Dulu waktu kantor saya di Kalibata, saya tiap hari ngeliat banyak banget orang yang duduk di atap kereta. Ternyata sekarang udah hilang. Tambah salut! Sebagai orang yang sudah berpengalaman naik angkutan umum di mana-mana (gak sombong nih, saya udah pernah naik kereta/bus di Singapore, Washington DC, Istanbul, Auckland, Perth sini, Melbourne, Gold Coast, Sydney, Brisbane), ternyata angkutan umum di Jakarta, wabil khusus kereta api, udah seperti kelas dunia. Salut! Cuman memang jumlah penumpangnya kebanyakan, tapi overall udah maju banget dibandingkan empat tahun lalu sebelum saya berangkat.

Moral of the story: ternyata negara kita kalo dikelola dengan benar, hasilnya bisa bagus kok. Makanya jangan nyerah!

Akhirnya Pulang Juga (Barangnya)

Seperti yang pernah saya bilang, batas akhir studi saya adalah 1 Agustus 2014. Yang dimaksud batas akhir adalah batas menyelesaikan tesis, yang berarti tesis diserahkan ke pihak univeristas. Proses sesudah itu adalah tesis tersebut diperiksa oleh dua orang examiner dari pihak luar universitas. Jadi para student udah pulang, barulah tesis itu diuji. Apabila lewat setelah tanggal 1 Agustus, maka saya harus membayar sendiri biaya sekolah karena beasiswa saya juga habis tanggal tersebut. Satu semester kelambatan harus bayar sekitar $10,000. Denda biasanya dihitung bulanan, kalo ada kelebihan hari maka dihitung prorata tarif per hari.

Apartemen saya kontrakannya habis 20 Mei 2014, yang tentu saja tidak sinkron dengan tanggal batas studi saya tersebut. Pihak agen udah bilang bahwa memperpanjang kontrak bisanya adalah tahunan, kan gak mungkin saya perpanjang sampai Mei 2015, siapa mau menghuni ntar. Sebenernya sih bisa kata temen-temen saya memperpanjang mingguan sampai saya selesai sekolah, tapi mengingat bahwa agen apartemen saya orangnya reseh, dan juga saya harus mencarikan sekolah baru di Indonesia buat Aby yang masuk SMP, maka diputuskan bahwa keluarga akan saya pulangkan Mei 2014, sedang saya akan tinggal di rumah temen menyelesaikan studi.

Maka mulailah proses seperti dulu tapi dibalik. Kalo dulu sibuk pindahan masuk, maka sekarang sibuk pindahan keluar. Walaupun keliatannya apartemen gak ada isinya, tapi setelah dilihat-lihat banyak juga. Terpaksa barang-barang yang gak akan dibawa pulang dijual atau dikasih temen. Kulkas belinya $200 dijual $50, karena setelah saya tawarkan gratis ke teman-teman gak ada yang mau (mereka semua udah punya kulkas, ya jelaslah). Sisanya dikasih ke orang: meja makan dan kursinya, kasur, lemari baju dua biji, dipan Aby, akuarium, rak sepatu, dst. Yang orang gak mau terpaksa dibuang di depan rumah, misalnya sofa yang sudah rada meleyot, kursi, alat-alat yang lain.

Hingga akhirnya tinggallah barang-barang yang sayang untuk dikasih ke orang dan barang yang memang dibeli untuk dibawa pulang. Pakaian, tivi, sepatu, tas, mainan anak, alat tulis dsb adalah tergolong barang yang memang sudah dipakai yang bisa dibawa pulang. Sedangkan barang yang khusus dibeli untuk dibawa pulang adalah alat barbeque (harganya $400, tapi kalo di Indonesia harganya Rp11juta), alat-alat pertukangan (saya sengaja beli ini karena mau mencoba hobi baru sebagai tukang kayu), terus karpet (beli di Ikea bagus banget cuma $150 harga satunya, saya beli dua). Yang paling berat adalah buku-buku yang diberikan Prof saya (kan dia jobless!).

Setelah itu barang dimasukin box untuk dikirim lewat ekspedisi. Setelah semua dikemas selama lebih dari dua minggu hasilnya adalah 38 kardus, dengan berat total sekitar 400 kilo. Ongkos kirim ke Serpong adalah $3 per kilonya. Ini dia barangnya:


Abis itu diambillah barang sama perusahaan ekspedisi. Ternyata yang datang adalah seorang tukang bule dengan sebuah mobil boks. Dia ngangkut barang sendiri bolak balik (tanpa bantuan saya) dengan trolinya, kayak gini nih.


Dua minggu kemudian barang udah nyampai di rumah saya di Serpong dengan selamat. Tapi sekali lagi saya liat fenomena produktivitas  yang berbeda antara bule dengan orang Indonesia. Kalo waktu ngambil barang di Perth sana si bule kerja sendiri dan gak sampai satu jam selesai, maka di Serpong sini memasukkan barang perlu tenaga dua orang (sopir ekspedisi sama satunya lagi), bahkan dibantu saya biar cepet. Itupun waktunya lebih lama, yakni dua jam. Dan tanpa pake troli. Tuh kan, bedanya negara maju sama bukan adalah produktivitas!

Siapa bilang hanya pejabat yang korupsi?

Dari dulu saya percaya bahwa ‘power tends to corrupt’ dan itu tidak memandang pangkat dan jabatan alias merata di semua lapisan. Tidak percaya? Begini ceritanya. Anda masih ingat gak bahwa mobil Hyundai tua saya yang rusak itu saya ‘buang’ lewat wrecker alias tukang besi tua? Itu lho yang mobil saya dinilai seharga $80 saja? Ceritanya waktu saya telpon dia sebelum dia dateng, mereka bilang akan membayar saya $200. Begitu orangnya dateng dia menawar dan jadilah $80 itu.

Rupanya teknik begitu sudah menjadi modus. Abis si Hyundai itu saya buang, saya dapet pinjaman temen berupa mobil yang lebih tua lagi, sebuah Daihatsu Charade dua pintu warna merah yang kalo dipakai lebih dari 5km mesinnya jadi overheating (tapi bagaimanapun itu berjasa besar buat kesana-sini, asalkan jaraknya kurang dari 5km!). Nah, waktu saya mau pulang ke Indonesia, mobil itu mau saya balikin ke yang punya, dianya gak mau, karena ya udah overheat itu. Ya udah, kalo gitu buang lagi aja!

Segera saya telpon wrecker lagi. Sudah deal, dia akan bayar $100. Waktu si petugasnya dateng, abis mobil digendong di mobil dereknya, dia mau pamit terus bilang: ‘udah ya, makasih’. Lho, kaget saya, terus saya bilang: ‘lah, katanya mau bayar $100. Yang bener dong!’ Dia bilang lagi: ‘ah enggak siapa bilang mau bayar, saya cuman bilang mau bawa mobilnya’. Tentu saja saya jengkel: ‘lha tadi ditelpon katanya mau bayar? Sini coba saya telpon bosmu!’. Eh, saya bilang begitu, terus dia mengkeret: ‘jangan deh, biar saya aja yang ngomong’. Eh, gak lama kemudian dia bersedia bayar,tapi cuma $50.  Yah sudahlah, capek deh saya ngeyel gara-gara $50, saya terima aja duitnya, terus saya kasihkan ke pemilik mobil. Ketahuan kan, ternyata si sopir mobil derek ini mau ngakalin saya! Terus saya pikir, berarti transaksi mobil Hyundai yang dulu tuh juga si sopir yang akal-akalan menurunkan harga dari $200 ke $80! Asem tenan!

Terbukti kan: korupsi tidak pandang bulu....

Australia A to Z (Part 5)


U-Ugg

Anda belum tau sepatu uggs? Sangat menjamur di sini. Dipakai kalo lagi winter. Ini penampakannya.



V-Vicoria Park

Kelurahan tempat saya tinggal. Sangat dekat dari City (sekitar 3km) dan juga kampus (4km), jadi ada di tengah-tengah antara kampus dan City. Juga relatif lebih aman dibanding kelurahan lain. Sayang sewa rumah mahal (minimal $400 seminggu untuk rumah 2 kamar), sehingga saya cuma mampu sewa apartemen saja ($350 seminggu). Lokasi, lokasi, lokasi.

W-Wave Rock

Ini adalah salah satu landmark Australia yang menurut saya sangat unik, sayang jaraknya jauh dari Perth sekitar 200km, dan sepanjang jalan ke sana sangat sepi dan ‘tidak ada apa-apanya’. Berbentuk batu yang sangat besar sekali, dan menyerupai ombak bentuknya, entah kenapa. Tapi saya tidak menyesal udah nyampe di situ. Kalo anda belum tau apa itu Wave Rock berikut penampakannya:



X-Sinar X

Barang yang sangat dibenci oleh istri saya. Soalnya gara-gara ronsen sinar X, kedatangan istri dan anak saya untuk nyusul saya ke Perth tertunda karena ada noda terlihat di paru-parunya. Padahal setelah diperiksa berulang-ulang, tidak ada yang salah dengan paru-paru istri saya. Bahkan, terakhir malah hampir ditolak masuk Perth padahal udah nyampai bandara Perth sini.

Y-Yanchep

Yanchep National Park, sebuah tempat wisata di mana kita bisa liat kanguru hidup di tempat bebas. Ada danaunya juga, dan ada juga guanya yang bisa dimasuki. Agak deket dari Perth, sekitar 60 km. Tempatnya sangat luas, cocok buat piknik dan foto-foto. Rekomended.

Z-Zoo alias bonbin

Tiket masuk kebon binatang di Australi tergolong mahal. Misalnya Perth Zoo tiketnya $21, atau Caversham tempat orang Indonesia foto-foto sama kanguru, tiketnya malah $24. Di Sydney juga mahal, kayaknya sekitar $20. Termasuk agak mahal juga adalah AQWA (Aquarium of Western Australia) yang malah lebih kecil dari Sea World Jakarta, harganya $24. Melbourne Aquarium juga mahal, sekitar $20an juga. Bagus juga sih mahal gini, jadi koleksi bonbin bisa bertambah atau perawatannya bagus, dan memang begitu keadaanya. Terakhir kali saya ke bonbin Ragunan, kayaknya cuman lima ribu (atau malah tiga ribu?), apa manajemen gak rugi ya?

Australia A to Z (Part 4)


T-Tinju

Pertama kali dan satu-satunya saya nonton tinju langsung ya di Perth ini. Ceritanya kebetulan ada karcis gratis buat orang Indonesia untuk nonton Chris John dan temen-temennya. Total ada sekitar lima atau enam partai. Yang saya tahu ada Adam Jordan yang menang dan Chris John yang sayangnya kalah (denger-denger itu adalah kekalahan pertama dia, abis itu dia mundur dari dunia pertinjuan). Ternyata tinju itu kalo nonton langsung sangat sadis lho (berani taruhan Anda pasti belum pernah nonton langsung!). Berdarah-darah! Bahkan ada satu petinju bule yang abis dipukul, jatuh gak bangun-bangun, sampai saya pikir tewas nih orang! Ternyata dia bisa bangun dan kalah KO, untunglah masih hidup. Sebagai selingan, banyak wanita berpakaian minim di ring, dan ada pole dancer segala (saya baru sekali liat yang kayak gini).

Ini Cris Johnnya:


Ini Daud Jordan:


Ini cewek-ceweknya:


Ini penarinya (entah apa kata ibunya kalo tahu anaknya jadi penari kayak gitu):


Australia A to Z (Part 3)


N-Nangkap kepiting

Alias crabbing. Inilah salah satu kegiatan yang bagi saya sangat berkesan, lebih mengesankan daripada camping, apalagi dibanding nulis thesis! Jadi ceritanya antara bulan November sd Februari, ada yang namanya crabbing season yaitu musim nangkap kepiting. Mengapa pada bulan itu karena saat itulah kepiting atau rajungan tepatnya mengalami musim kawin dan pada keluar dari lubangnya, terutama yang sudah dewasa (kan anak-anak kepitingnya belum akil balik, jadi ya ngapain ikut-ikutan tampil!). Jenis yang ditangkap biasanya yang biru alias blue crap. Minimal ukuran yang boleh ditangkap dan dibawa pulang menurut aturan adalah 15 cm badannya dari ujung ke ujung, tidak termasuk capitnya. Biasanya dari rumah berangkat jam 4 pagi, menuju ke Mandurah sekitar 80 km dari Perth. Nyampe di tempat, sholat subuh dulu baru nyebur ke pinggir laut yang dalamnya maksimal sepinggang. Peralatannya serok besi yang bertangkai kira-kira setengah meter, terus bawa ember besar buat nampung hasil tangkapan. Jadi caranya: kita jalan di laut dangkal itu sambil pasang mata. Begitu ada rajungan terlihat, barulah kita tangkap pake serok besi itu. Seru banget! Kadang berhasil kadang kabur. Si Aby anak saya sangat menikmati kegiatan itu, bahkan saya juga! Persis kita kayak nelayan. Berakhir sekitar jam 8 pagi. Sekali berangkat saya sama Aby kira-kira dapat 15 ekor, yang di bawah 15 cm kita lepas. Biasanya perginya berombongan, jadi kalo dikumpul semuanya, tangkapan yang sah bisa mencapai 30 ekor. Habis itu dimasak rame-rame. Sekali lagi, sangat mengesankan dan tak akan terlupakan.

O-Outdoor

Orang Australi sangat suka kehidupan outdoor. Yang paling sering adalah pergi ke taman untuk barbeque. Kegiatan yang lain, misalnya ke pantai, mancing, joging, sepedaan, jalan-jalan di taman dst. Seperti pernah saya sampaikan di entri yang lain, di taman umum banyak tersedia alat panggangan gratis, termasuk gasnya. Jadi kalo orang sini mau kumpul, tinggal masing-masing bawa bahan baku (daging, sosis, ikan) dan peralatan (penjepit, pembersih), sama bumbu-bumbunya. Beres deh, gak usah bertamu ke tempat orang yang ngerepotin. Kebiasaan ini juga ditiru oleh para students kalo ada acara kumpul-kumpul. Sangat menyenangkan. Bahkan waktu pulang ke Indo, saya mengimpor sebuah panggangan yang oke punya yang harganya cuma $400, padahal saya cek di Ace Hardware Jakarta barang yang sama harganya bisa mencapai 11 jutaan! Lumayan, bisa nggaya!

P-Ponsel alias Handphone

Nomor ponsel di sini sangat privat sifatnya. Minimal itulah yang saya rasakan karena selama empat tahun “bergaul” dengan pak prof pembimbing saya, saya tidak punya nomor ponselnya! Semua komunikasi lewat email. Bayangkan empat tahun kenal ketemu dua minggu sekali tapi gak punya nomor ponselnya!

Q-Qantas

Maskapai nasional punya Australia, tapi nyaris bangkrut dan mau dijual, gak tau gimana sekarang nasibnya. Pelayanannya biasa-biasa aja. Tapi ada satu yang membuat saya terkesan. Selama ini kan saya masuk ke Australia pakai Garuda jadi yah udah biasa. Suatu waktu saya masuk dari New Zealand naik Qantas, ternyata waktu pesawatnya menayangkan video keselamatan, mereka bukan pake video peragaan yang biasa yang membosankan itu, melainkan menggunakan tim football (ala Australia) mereka dengan gaya yang plesetan tapi serius. Sebuah ide yang bagus, karena penonton (minimal saya) jadi tertarik untuk menontonnya. Ayo Garuda, bikin versi yang menyegarkan dong. Pake Tukul Arwana misalnya?

R-Ramah

Berhubung orang sini mahal senyum (lihat entri di bawah), maka begitu mendapat pelayanan yang ramah langsung terkesan. Ini terjadi ketika keluarga kami mengurus visa buat ke Jepang melalui Kedutaan Besar Jepang di Perth. Asli, petugasnya ramah banget melayani. Mana mbaknya yang orang Jepang asli itu cantik lagi. Orang Australi harus belajar dari Kedubes Jepang ini.

S-Senyum

Rada sudah didapatkan di sini. Entah kenapa orang bule Perth sini jarang tersenyum, bahkan pegawai hotel pun tidak tersenyum sama kita sebagai konsumen. Orang Imigrasi juga begitu. Termasuk juga pramugari Qantas, tidak ada yang tersenyum (kalo pramugari Garuda mah top, full senyum!) Yang juga mahal senyum adalah agen-agen kontrakan rumah yang malah kayaknya menganggap mereka ini orang paling top sedunia, padahal kan penghasilan komisi mereka adalah kita juga yang bayar?  Di tempat lain (Sydney, Melbourne, Gold Coast, Brisbane, Auckland) orangnya masih lebih murah senyum, walaupun masih kalah jauh dibanding senyum orang Indonesia (yang cenderung cengengesan!). Orang Amerika di Amrik sana juga lebih banyak tersenyum.