Selasa, 27 Juli 2010

Dimarahin Bule

Kejadian #1. Tempat: terminal bis Espalade. Waktu saya sudah duduk di bis nunggu bis berangkat, ada seorang yang tampaknya seperti keturunan India, mau masuk ke bis. Di punggungnya ada ransel, dan tangan kirinya memegang sebuah kaleng Coca-cola. Waktu mau masuk, si sopir bule bilang gak boleh bawa minuman ke dalam bis, karena aturannya memang begitu. Si India ngeles dengan alasan yang gak begitu jelas (maklumlah kalo orang India ngomong Inggris kan gak keruan, seperti dalam film India gitu), keliatannya menjelaskan bahwa ‘saya gak akan minum kok, cuman memegang kaleng doang, sayang kalo dibuang’. Si sopir mengulangi lagi, dan si India berusaha meyakinkan lagi. Eh, gak tahunya si sopir marah-marah dengan suara keras dan menyuruh si India turun dan membuang kaleng minuman tersebut di luar, baru boleh masuk bis lagi. Dengan gemetar si India pun nurut…

Kejadian #2. Tempat: city. Saya yang lagi jalan-jalan di kota, ngeliat ada seorang bule pengamen yang memainkan alat yang seperti biola dan seperti biasa di samping dia duduk ada sebuah ‘kotak sumbangan’. Saya yang penasaran mendekat untuk melihat alat apa itu, ternyata tertulis di karton di dekatnya, yaitu sebuah biola cina. Main musiknya bagus dan dia pake kaca mata item kayaknya enjoy banget dengan pemainannya. Saya yang terkesan pun segera mengabadikan permainannya dengan ponsel saya. Eh, gak tahunya si bule marah-marah, bilangin bahwa pemotretan saya menggangu konsentrasinya. Saya pun malu berat, apalagi banyak orang yang nonton! Saya pun berulang-ulang bilang minta maaf, dan dia masih ngomel-ngomel lagi gak jelas (untung omelannya saya gak begitu ngerti!). Kalo gak mau difoto ya jangan main di pinggir jalan, dong! Bikin malu aja….

Kejadian #3. Tempat: di sebuah jalan menjelang stasiun bis. Saya waktu itu mau nyebrang jalan. Ke arah saya ada mobil berhenti yang baru saja menurunkan penumpang. Melihat mobil masih diam, ya saya menyeberang jalan dengan tenangnya. Gak tahunya, saya dengar si sopir teriak keras banget “SH*TTT!!!”. Saya gak begitu ngerti apakah teriakan tersebut ditujukan kepada saya (keliatannya sih begitu) yang menyebrang di depan mobilnya secara tiba-tiba, atau kepada orang lain. Saya mah pura-pura gak denger, ngeloyor aja, toh gak akan ketemu dia lagi ini…

Moral of the story? Orang sini kalo marah ngomongnya kenceng banget dan ‘medeni bocah’! Atau jangan-jangan beraninya sama kepada yang bukan penduduk asli? Saya gak bisa membayangkan apa ada orang Indonesia yang berani memarahin bule di Jakarta kalo si bule berbuat salah…

Sebuah Pemilu yang Sepi

Sebulan saya di sini, ternyata terjadi penggantian Perdana Menteri, yaitu pada Partai Buruh yang sedang memimpin dengan PM lama Kevin Rudd beralih kepada seorang perempuan berbibir tipis berhidung mancung banget namanya Julia Gillard. Saya gak tahu bagaimana sistemnya, tahu-tahu si PM baru mengumumkan akan adanya pemilu untuk menentukan siapa PM baru berikutnya. Saya terus terang gak paham, ini kan seperti di akhir masa jabatan SBY diganti sama si A, terus kemudian si A mengumumkan akan diadakan Pemilu bulan depan untuk penentuan presiden berikutnya. Nah, kalo si A gak terpilih, kan berarti dia cuman sekitar sebulan menjabat?

Begitulah, pemilu kali ini akan berhadapan Julia (partai Buruh) melawan Tony Abbott (koalisi). Jangan diharapkan kampanye akan seperti di Indonesia! Pendaftarannya tidak ada orang RT yang keliling dari rumah ke rumah mencatat daftar pemilih. Yang ada adalah pemilih suruh mendaftar sendiri kalo da perubahan (alamat dsb.) dalam waktu seminggu. Terus tidak ada acara panggung terbuka dengan iringan musik dangdut! Bahkan poster keduannya pun tidak saya lihat di jalan-jalan (mungkin nanti kali ya?). Yang rame adalah iklan di tv. Keduanya saling menyerang kebijakan masing-masing. Terus acara kampanye masing-masing juga disiarkan, tapi bukan secara gede-gedean, karena mereka hanya berkunjung ke suatu tempat, misalnya kantor imigrasi, pabrik mobil, ataupun pelabuhan. Yang hadir juga gak ribuan melainkan cuman puluhan orang. Yang sama dengan Indonesia, mereka juga mengunjungi pasar pura-pura belanja sambil ngobrol senyam-senyum sama penjualnya!

Nah, yang seru adalah debat nasional di tv di saluran “7” Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, acara ini terpaksa dimajukan menjadi jam 5 sore, takutnya kalo disiarkan Minggu malam jam 7 tidak ada orang yang menonton karena akan bersamaan dengan acara final Master Chef Australia! Kedua kontestan berdiri di kanan dan kiri pembawa acara dengan empat panelis yang nanya.

Yang saya senengin adalah dalam acara tersebut, secara bersamaan juga ditayangkan reaksi dari penonton apakah mendukung Julia apa Tony. Setiap calon bicara, ada grafik bergerak yang menunjukkan dukungan (positif) atau tidak (negative). Menariknya grafiknya terdiri dari tiga garis, yaitu laki-laki, perempuan, dan rata-rata. Jadi misalnya Julia yang bicara, maka ada tiga grafik yang bergerak, jadi keliatan yang mendukung dia ini laki-laki atau perempuan. Terlihat bahwa sebagian besar wanita mendukung Julia yang berslogan “Moving Forward” alias “Lanjutkan!”, sedangkan yang laki-laki mendukung Tony yang berslogan “Stand Up” alias “Tegak Berdiri (?)”.

Sebuah tayangan yang menarik. Tinggal ditunggu aja pemenangnya nanti di pemilu beneran. Menurut polling sih, Julia yang akan menang!

Lomba Masak yang Heboh

Hari Minggu lalu ada sebuah tayangan tivi yang mencetak rekor sebagai tayangan yang paling banyak ditonton di Australia, yaitu menduduki nomor tiga sepanjang sejarah pertelevisian di sini. Acara tersebut menduduki nomor tiga setelah di peringkat satu pertandingan final Australian Open tahun 2005 antara Leyton Hewitt melawan Andre Agassi dan peringkat dua tayangan Olimpiade Sydney 1988.

Tahukan Anda acara apa itu? Tidak salah lagi, yaitu sebuah acara lomba masak! Nama acaranya adalah “Master Chef”, sebuah acara lomba masak yang disiarkan saluran tv “Ten” setiap hari Minggu malam. Sebagai penggemar acara “Kuliner Pilihan”-nya Bondan Winarno, saya sedikit-sedikit mengikuti acara tersebut. Nah, hari Minggu kemarin adalah grand final-nya, setelah satu per satu kontestan tereliminasi. Sedemikian pentingnya acara ini sehingga debat calon Perdana Menteri terpaksa dimajukan menjadi agak sore (mengenai Pemilu Perdana Menteri ini akan saya tulis tersendiri). Menurut tv acara final tersebut ditonton oleh sekitar empat juta penduduk Australia (padahal total penduduk hanya sekiar 22 juta!). Lomba masak gitu lo!

Peserta finalnya adalah Adam, umur 31 tahun, seorang lawyer keturunan Jepang, dan Collum, seorang mahasiswa bule umur 20. Lombanya terdiri dari tiga babak dengan pembawa acara yang jago membangun suasana. Babak pertama adalah lomba mengenal bumbu dan bahan masakan. Saya tentu saja sebagian besar tidak mengenal bumbu yang dilombakan. Jangankan dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Indonesia aja saya gak tahu bedanya jahe ama kencur. Yang lucunya, si Adam ini tidak tahu salah satu benda yang ditunjukkan, padahal cuma sebuah jambu! Babak kedua adalah masak cepat, di antaranya adalah membuat omelet! Saya juga bisa! Di babak ini keduanya disuruh membuat tiga buah masakan dalam waktu satu jam. Babak ketiga adalah membuat sebuah hidangan pencuci mulut yang contohnya disajikan oleh seorang chef terkenal di Australi, entah siapa namanya, yang bahan dasarnya adalah, tidak salah lagi, jambu merah!

Singkat cerita, si Adam menjuarai lomba tersebut, dan mendapatkan hadiah kontan 100 ribu dolar dan hadiah lain-lainnya termasuk belajar dari koki-koki terkenal di seluruh dunia. Yang membuat saya rada kagum, selain hadiahnya, tentunya adalah cara mengemas acara tersebut. Kalo di Indonesia acara masak-memasak disiarkan pada pagi menjelang siang dengan audiensnya ibu-ibu. Lha ini di sini disiarkan waktu prime time Minggu malem jam 7.30, di mana semua penduduk sudah di rumah (karena semua mal di Perth kalo hari Minggu tutup jam 5 sore!). Acara lengkap dengan iringan music yang menggetarkan, kemudian penonton yang sangat antusias, serta juri-juri yang berbobot. Memang, packaging menjadi unsure yang sangat menentukan keberhasilan acara.

Jangan-jangan karena di Australi gak ada pembantu ya, sehingga orang sangat menikmati acara ini?

Untuk yang Penasaran: Cara Membawa Keluarga ke Australia

Berikut ini dokumen yang harus disiapkan apabila Anda ingin membawa keluarga ke Australia (sumber: Kantor IDP, Jakarta):
- Form 157A dan Form 956 (permohonan visa, dari website kedutaaan Australia)
- Foto 4x6=1 lembar berwarna, masing-masing
- Copy Akte Nikah yang suah dilegalisir “sesuai dengan aslinya”
- Copy Akte Lahir anak yang suah dilegalisir “sesuai dengan aslinya”
- Copy visa student penerima beasiswa
- Passport asli masing-masing
- Copy Kartu Keluarga yang dilegalisir
- Bukti asuransi kesehatan yang di Australia
- Bukti Surat Penerimaan dari sekolah di Australia untuk anak usia sekolah (di atas 5 tahun)—diurus melalui International Office di universitasnya student
- Bukti keuangan apabila membawa anak lebih dari dua

Minggu, 18 Juli 2010

Mabuk Udara

Anda masih ingat dengan tugas yang diberikan dosen pembimbing kepada saya untuk membaca 30 sampai 50 buku/jurnal mengenai topic penelitian sebelum bulan Juli berakhir? Nah, untuk melaksanakan amanat beliau, saya di sela-sela kelas IAP sibuk bolak-balik ke perpus. Nah, perpus jaman sekarang isinya bukan hanya buku melainkan lebih banyak dokumen elektronik. Rupanya di dunia yang didominasi internet ini, banyak banget penyedia jasa database yang bisa diakses melalui internet. Macam-macam nama penyedia jasa jenis ini, misalnya Science Direct, ProQuest, Emerald, HHC dsb. Curtin melanggan banyak penyedia jasa ini, tentunya dengan membayar lisensi ratusan ribu kalau gak jutaan dolar setahun, sehingga kalau mau cari buku, jurnal, atau data tinggal klik di situs penyedia jasa ini.

Khusus mengenai topic saya saja yaitu tax compliance, terdapat 34 penyedia jasa database, ada yang mengenai peraturan pajak seluruh dunia, pajak khusus Australia, serba-serbi administrasi pajak, juga ada puluhan jenis jurnal/majalah dengan masing-masing puluhan artikel dari tahun 1970an sampai dengan sekarang. Bayangin, tinggal masukkan kata kuncinya, langsung terpampang ribuan artikel yang mengandung kata tersebut. Yah, kurang lebih sejenis google, tapi yang ini lebih ilmiah.

Saya mencoba mencarinya di Emerald, dan dengan menyebutkan ‘tax compliance’ didapatkan 832 jurnal/majalah! Walah, gimana cara memilihnya! Dipersempit lagi jadi ‘tax compliance measurement’, lumayan, menjadi 182 artikel. Baca daftar artikelnya aja udah kliyengan, belum lagi memilihnya untuk di-download. Setelah dipilih-pilih dan menggunakan kata kunci dan provider yang berbeda-beda, didapatkan 45 artikel untuk saya download. Ingat, baru didownload, belum dibaca! Dan semuanya bahasa enggres lo hehehe..

Begitulah berhari-hari saya ke perpus, dan akhirnya sudah saya download sekitar 126 artikel, sudah dengan manis masuk ke notebook saya. Perkara nanti dibaca apa gak, ya itu masalah nanti. Nah, setelah di rumah, barulah saya pilih satu persatu mana akan kira-kira terpakai dengan cara membaca secara cepat apa isi artikel-artikel tersebut. Hasilnya? Terdapat sekitar 48 artikel yang layak baca untuk dijadikan referensi proposal saya, sampai sekarang! Setelah selesai menyeleksi artikel untuk dibaca, baru saya dengan tenang akan membacanya nanti. Kalo nanti kurang, ya cari lagi.

Demikianlah kira-kira proses pencarian buku/majalah/jurnal yang rada ruwet ini. Kalo Anda gak focus, bisa-bisa Anda mabok udara alias kebanyakan informasi jadi malah maju-maju!

Rupanya jadi PhD itu gak gampang yak?

Dulu dan Sekarang: Setelah Sebulan di Australia



Apa yang sudah sudah terjadi selama sebulan?
- Sudah lancar naik bis dari kampus ke apartemen bolak-balik (ya iyalah, nenek-nenek juga bisa!)
- Sudah bisa masak macam-macam dengan bumbu instan: sop, ayam goreng, nugget goreng, rendang,dadar telor, dsb
- Sudah menjelajahi city yang lumayan bagus
- Sudah ke Fremantle, yang nanti diulangi lagi sama keluarga
- Sudah bisa tidur tanpa heater, walaupun baju berlapis tiga dan pake selimut tebel
- Sudah bisa mencuci baju dan mengeringkannya dengan benar dengan mesin
- Sudah shalat Jumat dengan teratur di kampus
- Sudah ketemu tempat-tempat yang menjual: bumbu instan, indomi, tempe, bandeng presto, sayur asem dan sambel goreng kaleng, dan sarden kalengan
- Sudah berhasil mengurus dokumen untuk mengurus visa untuk membawa keluarga ke sini, yaitu Surat Dukungan dari Curtin University, surat keterangan dari DepDikbud-nya Perth untuk sekolah anak saya, dan meng-upgrade asuransi menjadi asuransi keluarga (ongkosnya 1500 dolar bayar sendiri, bo!)

Nah, yang belum?
- Belum ketemu tempat yang menjual pete dan kacang panjang
- Belum berhasil masak kari sapi (padahal ada bumbu instannya lo, tapi entah kenapa rasanya anyep!)
- Belum berhasil masak tumis daging dan ayam (terlalu manis)
- Belum bisa memperkirakan belanja mingguan dengan pas, akibatnya: tempe sudah bau ketika mau dimasak, ayam nugget keburu daluwarsa, sayur sudah pada layu di kulkas, beli paprika kebanyakan padahal mahal harganya, roti tawar belinya kebanyakan…
- Belum bisa beli mobil, nunggu mobil di Jakarta laku dulu
- Belum beli Apple iPad, nunggu keluarga datang
- Dan yang paling penting: keluarga BELUM datang karena visanya belum kelar juga

Makan Sate Kanguru di NAIDOC

Selama tiga minggu sebelum tahun ajaran dimulai, diadakan orientasi yang disebut sebagai Introductory Academic Program (IAP) dari 28 Juni sampai dengan 15 Juli (tiga minggu). Isinya macem-macem: academic writing, oral presentation, plagiarism (lagi!), motivasi, dsb yang rada membosankan secara saya sudah tamat mengenai hal ini (istilah ‘secara’ masih ngetop gak di Jakarta?), bukan saja karena Amrik aja udah saya taklukkan (sombong mode:on), tapi materi yang sama juga sudah saya dapatkan di Jakarta persis sebelum berangkat ke sini (kalo di Jakarta namanya English for Academic Purpose, selama enam minggu). Ini acara khusus buat students yang dibiayai oleh ADS kayak saya gini, asalnya dari Indonesia, Filipina, Taiwan, Negara-negara Afrika semacam Ghana, Sierra Lione, dsb.

Salah satu acara IAP adalah pengenalan mengenai budaya Australia. Nah, salah satu acaranya adalah upacara dalam rangka NAIDOC week. NAIDOC (singkatan dari National Aborigines and Islanders Day Observance Committee) kira-kira berarti acara untuk memperingati perjuangan suku asli Australia (Aborigin) dalam rangka keterwakilan mereka di cabinet dan juga dalam departemen khusus yang dibentuk untuk mengurus mereka. Yah kurang lebih untuk emansipasi lah, karena sebenarnya Australia tergolong ‘penjajah’ juga, karena pertama-tama dulu mereka didatangkan dari Inggris kemudian menyebar ke seluruh Australia menaklukkan Aborigin yang tadi.

Upacara bendera dalam rangka NAIDOC ini dilakukan di halaman kampus. Kalo dibandingin dengan upacara di Indonesia jelas kalah jauh. Barisan aja gak dirapiin, naikin benderanya juga asal-asalan, sambutan juga gak resmi….

Nah, abis upacara di kampus, lalu kami digiring ke pusat perayaan yang lebih besar di deket kampus. Acaranya selain naikin bendera, pidato, sambutan, melukis untuk anak, cat wajah, dsb juga makan gratis. Nah, ini yang ditunggu… Penasaran sama daging kanguru, maka kami pun ikutan mengantre. Kanguru sudah dipotong dalam bentuk sate tapi agak besar-besar (yang pasti lebih besar dari potongannya satekambing Kantil di depan masjid Pandowo Salatiga sana), terus ada sausnya juga.
Rasanya? Ya apa boleh buat ternyata daging kanguru rasanya biasa-biasa saja! Mirip sate rusa, kalo Anda sudah pernah mencobanya. Karena satenya rasanya biasa saja, saya mencoba yang berkuah mirip sate padang gitu. Rasanya tetep biasa saja, bahkan cenderung anyep karena kurang bumbu. Ya apa boleh buat, tapi lumayan minimal saya sudah pernah merasakannya dan juga seperti biasa sempet foto-foto juga. Oya, yang merah oranye itu adalah bendera Aborigin (yah, mirip-mirip bendera OPM Irian gitu deh!)







Minggu, 11 Juli 2010

KE CITY, TERINGAT BLOK M

Anda pernah ke Blok M? Kalau saya mungkin terakhir tahun 2000 dulu waktu mau beli seserahan buat kawinan saya, di Pasaraya Seibu namanya. Sekarang mungkin Blok M sudah bukan menjadi DTW (Daerah Tujuan Wisata) lagi, karena keadaannya sudah kumuh dan banyak kakilimanya. Dahulu kala Blok M ini sangat ampuh. Saya dulu waktu kuliah tiap hari ke sana, bukan karena mau belanja melainkan karena di situlah letak Terminal Blok M tempat saya naik bis jurusan Ciputat-Blok M nomer Patas 21 (bayar 350 rupiah, kalo lagi banyak duit), atau Koantas Bima 621 (bayar cepek, kalo lagi bokek). Saking tiap harinya lihat berbagai macam bis dengan segala jurusannya, saya jadi hapal nomor-nomor bis. Sekarang pun masih ingat, terutama yang dari Blok M: 105 ke Manggarai, 69 Cileduk, 603 Bintaro, 71 Cipulir, 45 Cililitan, P1 Kota, 19 Ciputat (tapi bukan yang patas), 75 Pasar Minggu, 72 Radio Dalam, 79 Lebak Bulus, 605 Kemang, 620 Pondok Labu lewat Fatmawati, 14 Senen, 70 Kota (yang ini malah bis tingkat!), 66 Kuningan, 620 Manggarai, 46 Cililitan-Grogol (banyak copetnya), 19 Tanah Abang, 604 Tanah Abang-Pasar Minggu (banyak copetnya juga). Tuh kan…

Nah, Blok M ini adalah superblock, yakni puat perniagaan yang segala ada dari yang mahal sampai yang kaki lima. Yang mahal adalah Pasaraya Blok M punyanya pengusaha Abdul Latief, yang kemudian punya Lativi tapi terus bangkrut, terus Blok M Plaza di dekat SMA 6. Kemudian yang biasa-biasa saja misalnya Melawai Plaza, Matahari, Borobudur, Pojok Busana, Gramedia. Tempat makan juga banyak, yang bagus ya adanya di Pasaraya (banyak restoran), juga foodcourtnya yang sangat legendaris, lalu Bakmi GM di Melawai, Pizza Hut, kemudian KMB (yakni Kantin Murah dan Baik, kayaknya sudah almarhum sekarang) di pojokan Melawai, AW (sering diplesetkan jadi American Warteg, jaman saya kuliah dulu), Wendys, Aha, KFC (saya makan KFC pertama selama hidup ya di sini!), Texas FC (sekarang udah gak ada). Yang kelas kakilima juga ada yaitu mi ayam yang legendaris di depan Gramedia (masih ada gak ya?) dan segala warung di dalam terminal yang suka menggetok pembeli, terutama yang bertampang “daerah”, dengan harga gak masuk akal.

Cerita sampingan: Dulu saya punya temen, namanya Agus asalnya dari Ungaran, sebuah kota kecil di Jawa Tengah sana. Dulu saya sering pulang kuliah bareng dia sama-sama jalan kaki ke terminal Blok M. Nah, kalo cuaca sangat panas, kami sering cari angin sejuk dulu di Pasaraya, keliling-keliling gak jelas sambil mengagumi barang-barang mahal yang dijual di sana. Tentu saja kami jarang belanja, paling-paling kalo ada diskon gede-gedean saja, itu pun jarang, karena Pasaraya ini termasuk ‘sombong’ alias jarang diskon. Sampai sekarang, saya teringat banget sama kata-kata si Agus ini yang sering diungkapkan kalo lagi di Pasaraya: “Bud, aku itu kadang terheran-heran lho, kita ini kan dari kota kecil yang gak jelas di Jawa sana, kok bisa-bisanya kita ini terdampar di Jakarta, terus jalan-jalan di tempat mewah kayak gini (!), bisa ‘mengencingi’ (maaf) Pasaraya segala. Dulu sekolah aja jalan kaki gak pake sepatu.Terbayang gak kamu dulu?” Begitulah kami saking noraknya…..( Tapi hidup memang sebuah misteri: teman saya si Agus malah menyelesaikan S2 di Jepang, sedangkan S2 saya di Amrik, terus melanjutkan S3 di Perth sini)).

Kembali ke laptop: belakangan terminal Blok M ini diperbarui, yaitu dengan dibuatnya plaza di bawah tanah, yang dinamai Blok M Mall. Idenya adalah penumpang tidak masuk langsung ke terminal, melainkan ke mal dulu kemudian tergantung tujuannya, menuju lorong-lorong di mana bis yang akan mereka naiki mangkal. Misalnya kalo mau ke Ciputat, maka lewat lorong A ke atas, atau kalo mau ke Cillilitan, masuk ke lorong D, dst. Sebuah ide yang bagus di mana penumpang tidak bercampur-campur gak karuan, juga mal jadi rame, karena didatangi ribuan calon penumpang tiap hari.

Nah, kenapa saya cerita masalah Blok M ini panjang lebar? Ya itu tadi, karena saya kemarin barusan dari City. Dengan naik bis andalan 72 (ini bis yang sama yang membawa saya ke kampus tiap hari, arah sebaliknya), saya menuju city (maksudnya ya downtown Perth. Ngerti downtown ora, Son?). Bis berhenti di terminal Esplanade (kayak nama bangunan mirip durian di Singapura sana. Udah pernah belum? Hehehe..). Nah, terminal Esplanade inilah yang mengingatkan saya pada terminal Blok M. Di sini bis masuk ke dalam jalur masing-masing sesuai jurusannya. Kemudian kalo penumpang mau pindah ke bis lain atau keluar dari wilayah terminal untuk jalan-jalan, penumpang harus harus ke lantai atas (tentu pakai escalator!). Pokoknya persis banget sistemnya sama Blok M. Bedanya?

Nah, bedanya bis-bis di sini jauh lebih bersih, karena pakai gas, jadi tidak berasap. Juga kedatangan dan keberangkatan bis-bis segala jurusan yang bermacam-macam itu ada jadwalnya sampai ke menit-menitnya, jadi kalo jadwalnya masih lama, penumpang gak harus turun ke terminal, melainkan jalan-jalan dulu di atas. Pengumuman keberangkatan pakai layar tv seperti di bandara. Terus jumlah penumpang juga gak ribuan, melainkan ratusan saja (mungkin karena hari itu hari libur kali?). Tidak ada pedagang kaki lima, yang ada adalah kios-kios yang tertata rapi. Tidak ada orang yang merokok. Yang bikin tambah kagum adalah terminal bis ini bersih banget dan teratur, dengan bentuk seperti ruang tunggu di bandara 3 Soekarno Hatta sana, yaitu lorong-lorong menuju ke bawah, kemudian toko-toko dan juga restoran bentuknya hampir mirip di terminal 3 itu. Ruang informasinya bersih, banyak peta gratis…

Nah, setelah keluar dari terminal itu, saya segera melangkahkan kaki ke city, yang tambah mengingatkan saya akan Blok M. Wilayah city ini rada luas, dengan jalan-jalan kecil di antaranya. Yang menyenangkan, seperti Blok M jaman dulu, semua bisa dicapai dengan jalan kaki. Malah kalo bawa mobil katanya susah cari pakirnya. Dari yang mahal sampai yang murah juga ada. Dari Burberry, Luis Vitton, Armani semua ada tokonya masing-masing. Yang kelas bawah juga ada misalnya salvo (barang bekas), kemudian reject shop (barang murahan), kios-kios kecil asian market. Tempat makan juga ada yang mahal-mahal (restoran beneran), kafe-kafe outdoor di pingir jalan, warung kebab, foodcourt semua ada. Lorong-lorongnya malah seperti di Pasar Baru dengan kanan kiri toko, dengan semua orang jalan kaki dengan tentengan masing-masing. Sayang sekali tidak ada salju di Perth…

Di sini bentuk pertokoannya bukan mal-mal besar segede Plaza Senayan atau PIM, melainkan bangunan pendek-pendek (ya seperti di Blok M itu!) jadi kita tidak berputar-putar di satu mal melainkan jalan-jalan fisik ke berbagai pertokoan sambil tengak-tengok kanan kiri seperti rusa masuk kampung. Kalau laper tinggal pilih tempat makan sesuai selera. Bagusnya Pemda sini memanajemeni (kata ini bener gak sih?) dengan baik. Jadi karena tempat parkir susah, disediakan bis-bis gratis yang lewat tiap 15 menit sekali mengelilingi city. Penumpang bisa turun di mana saja tanpa bayar. Jadi ada pilihan mau jalan kaki atau naik bis itu! Benar-benar dimanjakan, dan jalan menjadi tidak semrawut.

Jadi begitulah. Seandainya Blok M atau pusat belanja lain di Jakarta (atau malah di Bandung, kayaknya bisa diterapkan di pusat factory outlet di Jalan Riau dan sekitarnya) ditata rapi sebenarnya bisa mendatangkan pengunjung banyak, dan tentunya juga meningkatkan kegiatan ekonomi kota. Coba misalnya di Blok M itu kendaraan gak boleh masuk, kemudian kakilima dihilangkan, toko-toko diperbaiki, tentu bisa mendatangkan pembeli kembali seperti dulu…

catatan: sebenarnya city Perth sini pusat belanjanya mirip seperti Orchard Road di Singapura sana (tapi gedungnya lebih kecil-kecil di city), di mana semuanya dekat satu sama lain, tapi sengaja tidak saya bandingin, takutnya Anda pada belum pernah ke sana, jadi ntar gak nyambung, hehehe…)

Rabu, 07 Juli 2010

BULE VS BUKAN BULE

Pada suatu hari, saya ingin pergi ke counter asuransi di kampus, karena ada kesalahan pengisian data tahun lahir Aby anak saya, yang seharusnya tahun 2002 tertulis 2003. Waktu itu si Customer Servicenya (CS) adalah seorang gadis bule. Terjadi percakapan sebagai berikut:

Saya : Mbak, saya mau ganti data tahun lahir anak saya, karena saya lihat di internet, salah. Seharusnya 2002 tertulis 2003 (terjemahan bebas, kan di Australia gak ada “Mbak”)
CS : Nomor polis?
Saya : 1500****CUA
CS : (Setelah buka komputer) Bawa bukti-bukti gak, misalnya paspor anak atau akte kelahiran anak?
Saya : (Cari-cari alasan, karena saya gak bawa bukti) Wah, mbak, paspor anak saya belum jadi (padahal udah), sedangkan akte kelahiran adanya di Indonesia. Gimana nih?
CS : Ya kamu minta mereka kirim kopinya ke sini. Kalo gak, ya gak bisa!
Saya : Ah, yang bener Mbak, cuman ganti gitu doang!
CS : Tetep gak bisa (dengan kejamnya)
Saya : *&%!@??! Makasih deh, Mbah, eh, Mbak!

Besoknya dengan buru-buru saya segera kirim permintaan darurat ke istri di BSD untuk segera scan paspor dan akte kelahiran anak. Setelah email diterima segera saya print dan meluncur ke kantor yang sama. Kali ini penjaga counternya bukan bule, melainkan seorang cewek keturunan India.

Saya : Mbak, saya mau ganti data tahun lahir anak saya, karena saya lihat di internet, salah. Seharusnya 2002 tertulis 2003
CS : Nomor polis?
Saya : 1500****CUA
CS : (Setelah buka komputer) Ok, sebentar saya betulkan
Saya : Ini Mbak, bukti-buktinya lengkap, barusan dikirim dari Indonesia, masih hangat, akte kelahiran dan paspor (dengan yakinnya)
CS : Itu mah gak perlu, saya percaya sama kamu. Tuh, udah selesai!
Saya : ???? Makasih banyak Mbak! (Sambil bingung)

Demikianlah!

Senin, 05 Juli 2010

MASAK-MASAK SENDIRI…

Dulu kala ada lagu dangdut yang kurang lebih reff-nya begini:

Masak, masak sendiri…
Makan, makan sendiri…

(Atau itu iklan kompor gas ya?)

Mestinya lagu itu ditambahin dengan “nyuci, nyuci sendiri…” Ya, soalnya habis makan, harus cuci piring sendiri (sebuah pekerjaan yang sudah 7 tahun tidak saya lakukan, tepatnya terakhir tanggal 11 Mei 2003 di Amrik sana). Belum lagi nyuci baju di laundry umum sekali seminggu dengan tarif $2,40 sekali giling (belum termasuk $2 punya saya yang tertelan mesin karena belum bisa pakenya), dan untuk mengeringkan $1,2 sekali putaran (tapi langsung kering).

Awal lagu itu juga mestinya ditambahin dengan “belanja sendiri” karena jarak pasar (eh, maksudnya swalayan) dari apartemen saya lumayan jauh, mungkin 1 kilo lebih, berangkat menurun pulang nanjak, jalan kaki! Belanja bumbu dan bahan lumayan menghabiskan pulsa karena harus konsultasi via sms 8 kali dengan istri tercinta nun jauh di sana nanyain bumbu dan bahan apa saja yang harus dibeli.

Nyampe rumah langung masak. Masakan pertama nasi goreng dengan bumbu instan, lumayan berhasil, walaupun rada keras. Masakan berikutnya bikin sop ayam, yang saya nilai sendiri sangat enak (sebuah penilaian yang sangat subjektif tentunya!). Selain cukup repot, ternyata masak juga menghabiskan pulsa karena bolak-balik konsultasi dengan nyonya…

Pelajaran dari masak-memasak ini:

- Ternyata wortel itu keras dan susah motongnya, pada mencelat kesana kemari
- Ayam yang dari kulkas kerasnya kayak kayu, harus pake golok motongnya (atau kalo gak ada golok, ya diempukin dulu dengan ditaruh di kran air panas)
- Panci yang saya beli ternyata kekecilan: waktu merebus ayam, airnya pada numpahin kompor
- Kalo bikin nasi goreng, ayamnya harus disuwir-suwir, bukan dipotong-potong karena jadi alot
- Kenikmatan makan jadi berkurang karena membayangkan harus cuci piring sesudahnya. Supaya gak berkurang kenikmatannya, cuci piringnya ntar-ntar aja
- Di supermarket sini gak ada tempe, entah di mana ntar nyarinya
- Terakhir, untuk Anda yang dimasakin sama Ibunda, jangan sekali-kali ngeremehin masakannya, karena memang ternyata masak itu membutuhkan keahlian dan kesabaran tersendiri….

BUAT YANG PENASARAN: SEWA RUMAH

Buat Anda yang penasaran, berapa sih biaya sewa mingguan di Perth, berikut adalah harga rata-rata yang datanya bersumber dari Housing Service Curtin:
- Kamar doang dengan kamar mandi dan dapur dipakai rame-rame (lokasi bisa on campus, bisa di luar), $ 140-160
- Kamar doang dengan kamar mandi di dalem: 160
- Kamar ukuran besar, dengan dua tempat tidur: 180
- Apartemen satu kamar (kamar, living room, kamar mandi, dapur): mulai 250-300
- Apartemen dua kamar: mulai 300
- Rumah dengan tiga kamar: mulai 350

Ingat: tarif di atas adalah mingguan, bukan bulanan….

AKHIRNYA: HOME SWEET HOME!

Setelah lima kali gotong-gotong kopor nyaris seperti induk kucing habis melahirkan, akhirnya jadi juga pindah ke apartemen. Toal biaya yang dikeluarkan di awal: $1040 (untuk jaminan apartemen mana tahu saya ngilangin gelasnya pemilik apartemen, yaitu sebesar empat kali sewa mingguan yang bisa diminta kembali kalo habis masa kontrak), dan $520 untuk sewa dua minggu dibayar di muka. Itu belum termasuk bayar kos selama dua minggu $200 dengan bonus dapet tv bekas yang bisa dipakai nonton Piala Dunia, selimut tebel, plus satu buah heater (lumayan!)

Rasanya lega bisa punya tempat sendiri, mau glundang-glundung sarungan bebas (tapi gak mungkin sarungan doang, kan cuaca dingin banget!). Apartemennya kira-kira berukuran 7x7m, yah lumayan lah sedikit penurunan dari rumah di BSD sana. Tempat parkir dapat jatah satu mobil, beberapa mesin cuci dan mesin pengiring yang dipakai bersama, depan apartemen langsung halte bis ke universitas. Oya, nama apartemennya adalah Berwick Heights, letaknya di perempatan King George St dan Berwick St.

Berikut gambar tampak muka, tampak belakang, living room, dapur, tempat makan, dan tempat tidurnya