Minggu, 11 Juli 2010

KE CITY, TERINGAT BLOK M

Anda pernah ke Blok M? Kalau saya mungkin terakhir tahun 2000 dulu waktu mau beli seserahan buat kawinan saya, di Pasaraya Seibu namanya. Sekarang mungkin Blok M sudah bukan menjadi DTW (Daerah Tujuan Wisata) lagi, karena keadaannya sudah kumuh dan banyak kakilimanya. Dahulu kala Blok M ini sangat ampuh. Saya dulu waktu kuliah tiap hari ke sana, bukan karena mau belanja melainkan karena di situlah letak Terminal Blok M tempat saya naik bis jurusan Ciputat-Blok M nomer Patas 21 (bayar 350 rupiah, kalo lagi banyak duit), atau Koantas Bima 621 (bayar cepek, kalo lagi bokek). Saking tiap harinya lihat berbagai macam bis dengan segala jurusannya, saya jadi hapal nomor-nomor bis. Sekarang pun masih ingat, terutama yang dari Blok M: 105 ke Manggarai, 69 Cileduk, 603 Bintaro, 71 Cipulir, 45 Cililitan, P1 Kota, 19 Ciputat (tapi bukan yang patas), 75 Pasar Minggu, 72 Radio Dalam, 79 Lebak Bulus, 605 Kemang, 620 Pondok Labu lewat Fatmawati, 14 Senen, 70 Kota (yang ini malah bis tingkat!), 66 Kuningan, 620 Manggarai, 46 Cililitan-Grogol (banyak copetnya), 19 Tanah Abang, 604 Tanah Abang-Pasar Minggu (banyak copetnya juga). Tuh kan…

Nah, Blok M ini adalah superblock, yakni puat perniagaan yang segala ada dari yang mahal sampai yang kaki lima. Yang mahal adalah Pasaraya Blok M punyanya pengusaha Abdul Latief, yang kemudian punya Lativi tapi terus bangkrut, terus Blok M Plaza di dekat SMA 6. Kemudian yang biasa-biasa saja misalnya Melawai Plaza, Matahari, Borobudur, Pojok Busana, Gramedia. Tempat makan juga banyak, yang bagus ya adanya di Pasaraya (banyak restoran), juga foodcourtnya yang sangat legendaris, lalu Bakmi GM di Melawai, Pizza Hut, kemudian KMB (yakni Kantin Murah dan Baik, kayaknya sudah almarhum sekarang) di pojokan Melawai, AW (sering diplesetkan jadi American Warteg, jaman saya kuliah dulu), Wendys, Aha, KFC (saya makan KFC pertama selama hidup ya di sini!), Texas FC (sekarang udah gak ada). Yang kelas kakilima juga ada yaitu mi ayam yang legendaris di depan Gramedia (masih ada gak ya?) dan segala warung di dalam terminal yang suka menggetok pembeli, terutama yang bertampang “daerah”, dengan harga gak masuk akal.

Cerita sampingan: Dulu saya punya temen, namanya Agus asalnya dari Ungaran, sebuah kota kecil di Jawa Tengah sana. Dulu saya sering pulang kuliah bareng dia sama-sama jalan kaki ke terminal Blok M. Nah, kalo cuaca sangat panas, kami sering cari angin sejuk dulu di Pasaraya, keliling-keliling gak jelas sambil mengagumi barang-barang mahal yang dijual di sana. Tentu saja kami jarang belanja, paling-paling kalo ada diskon gede-gedean saja, itu pun jarang, karena Pasaraya ini termasuk ‘sombong’ alias jarang diskon. Sampai sekarang, saya teringat banget sama kata-kata si Agus ini yang sering diungkapkan kalo lagi di Pasaraya: “Bud, aku itu kadang terheran-heran lho, kita ini kan dari kota kecil yang gak jelas di Jawa sana, kok bisa-bisanya kita ini terdampar di Jakarta, terus jalan-jalan di tempat mewah kayak gini (!), bisa ‘mengencingi’ (maaf) Pasaraya segala. Dulu sekolah aja jalan kaki gak pake sepatu.Terbayang gak kamu dulu?” Begitulah kami saking noraknya…..( Tapi hidup memang sebuah misteri: teman saya si Agus malah menyelesaikan S2 di Jepang, sedangkan S2 saya di Amrik, terus melanjutkan S3 di Perth sini)).

Kembali ke laptop: belakangan terminal Blok M ini diperbarui, yaitu dengan dibuatnya plaza di bawah tanah, yang dinamai Blok M Mall. Idenya adalah penumpang tidak masuk langsung ke terminal, melainkan ke mal dulu kemudian tergantung tujuannya, menuju lorong-lorong di mana bis yang akan mereka naiki mangkal. Misalnya kalo mau ke Ciputat, maka lewat lorong A ke atas, atau kalo mau ke Cillilitan, masuk ke lorong D, dst. Sebuah ide yang bagus di mana penumpang tidak bercampur-campur gak karuan, juga mal jadi rame, karena didatangi ribuan calon penumpang tiap hari.

Nah, kenapa saya cerita masalah Blok M ini panjang lebar? Ya itu tadi, karena saya kemarin barusan dari City. Dengan naik bis andalan 72 (ini bis yang sama yang membawa saya ke kampus tiap hari, arah sebaliknya), saya menuju city (maksudnya ya downtown Perth. Ngerti downtown ora, Son?). Bis berhenti di terminal Esplanade (kayak nama bangunan mirip durian di Singapura sana. Udah pernah belum? Hehehe..). Nah, terminal Esplanade inilah yang mengingatkan saya pada terminal Blok M. Di sini bis masuk ke dalam jalur masing-masing sesuai jurusannya. Kemudian kalo penumpang mau pindah ke bis lain atau keluar dari wilayah terminal untuk jalan-jalan, penumpang harus harus ke lantai atas (tentu pakai escalator!). Pokoknya persis banget sistemnya sama Blok M. Bedanya?

Nah, bedanya bis-bis di sini jauh lebih bersih, karena pakai gas, jadi tidak berasap. Juga kedatangan dan keberangkatan bis-bis segala jurusan yang bermacam-macam itu ada jadwalnya sampai ke menit-menitnya, jadi kalo jadwalnya masih lama, penumpang gak harus turun ke terminal, melainkan jalan-jalan dulu di atas. Pengumuman keberangkatan pakai layar tv seperti di bandara. Terus jumlah penumpang juga gak ribuan, melainkan ratusan saja (mungkin karena hari itu hari libur kali?). Tidak ada pedagang kaki lima, yang ada adalah kios-kios yang tertata rapi. Tidak ada orang yang merokok. Yang bikin tambah kagum adalah terminal bis ini bersih banget dan teratur, dengan bentuk seperti ruang tunggu di bandara 3 Soekarno Hatta sana, yaitu lorong-lorong menuju ke bawah, kemudian toko-toko dan juga restoran bentuknya hampir mirip di terminal 3 itu. Ruang informasinya bersih, banyak peta gratis…

Nah, setelah keluar dari terminal itu, saya segera melangkahkan kaki ke city, yang tambah mengingatkan saya akan Blok M. Wilayah city ini rada luas, dengan jalan-jalan kecil di antaranya. Yang menyenangkan, seperti Blok M jaman dulu, semua bisa dicapai dengan jalan kaki. Malah kalo bawa mobil katanya susah cari pakirnya. Dari yang mahal sampai yang murah juga ada. Dari Burberry, Luis Vitton, Armani semua ada tokonya masing-masing. Yang kelas bawah juga ada misalnya salvo (barang bekas), kemudian reject shop (barang murahan), kios-kios kecil asian market. Tempat makan juga ada yang mahal-mahal (restoran beneran), kafe-kafe outdoor di pingir jalan, warung kebab, foodcourt semua ada. Lorong-lorongnya malah seperti di Pasar Baru dengan kanan kiri toko, dengan semua orang jalan kaki dengan tentengan masing-masing. Sayang sekali tidak ada salju di Perth…

Di sini bentuk pertokoannya bukan mal-mal besar segede Plaza Senayan atau PIM, melainkan bangunan pendek-pendek (ya seperti di Blok M itu!) jadi kita tidak berputar-putar di satu mal melainkan jalan-jalan fisik ke berbagai pertokoan sambil tengak-tengok kanan kiri seperti rusa masuk kampung. Kalau laper tinggal pilih tempat makan sesuai selera. Bagusnya Pemda sini memanajemeni (kata ini bener gak sih?) dengan baik. Jadi karena tempat parkir susah, disediakan bis-bis gratis yang lewat tiap 15 menit sekali mengelilingi city. Penumpang bisa turun di mana saja tanpa bayar. Jadi ada pilihan mau jalan kaki atau naik bis itu! Benar-benar dimanjakan, dan jalan menjadi tidak semrawut.

Jadi begitulah. Seandainya Blok M atau pusat belanja lain di Jakarta (atau malah di Bandung, kayaknya bisa diterapkan di pusat factory outlet di Jalan Riau dan sekitarnya) ditata rapi sebenarnya bisa mendatangkan pengunjung banyak, dan tentunya juga meningkatkan kegiatan ekonomi kota. Coba misalnya di Blok M itu kendaraan gak boleh masuk, kemudian kakilima dihilangkan, toko-toko diperbaiki, tentu bisa mendatangkan pembeli kembali seperti dulu…

catatan: sebenarnya city Perth sini pusat belanjanya mirip seperti Orchard Road di Singapura sana (tapi gedungnya lebih kecil-kecil di city), di mana semuanya dekat satu sama lain, tapi sengaja tidak saya bandingin, takutnya Anda pada belum pernah ke sana, jadi ntar gak nyambung, hehehe…)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar