Rabu, 25 April 2012

Rejeki (Atau Bukan?)

Masih berkaitan dengan tragedi WC mampet, sudah sudah saya ceritakan bahwa biaya nginep akan ditanggung agen properti seperti yang dijanjikan. Biaya yang saya keluarkan adalah nginep di hotel pertama $168, nginep di hotel kedua $250, tambah uang jaminan $100, total $518.Tapi setelah uang jaminan $100 dikembalikan, jadi murni yang keluar dari dompet saya adalah $418.


Nah, semua bukti pengeluaran tadi saya berikan ke agen, termasuk bukti pengembalian uang jaminan tadi. Saya berharap uang $418 segera dikembalikan ke rekening saya. Tiga hari kemudian saya cek rekening saya, ternyata yang dikasih ke saya adalah $518, artinya uang jaminan yang sudah saya terima sebesar $100 dianggap biaya juga. Jadi dalam hal ini saya 'laba' $100 (yah kira-kira 900 ribu deh!).

Pertanyaanya: apakah uang yang $100 tadi saya kembalikan ke agen karena bukan hak saya? Atau, karena saya sudah menderita karena peristiwa itu (kleleran di taman, beli keset kamar mandi baru, tidak bisa ke kampus karena ngurusin perkara nyebelin ini), terus uang $100 tadi saya anggap sebagai ganti kerugian moral? Belum lagi teringat si agen telah bertindak 'kejam' kepada saya.

Nah, kalo Anda jadi saya, kira-kira Anda apakan uang $100 tadi?

Ditangkap Polisi

Peristiwa ini udah agak lama terjadi, tapi baru sempet saya tulis sekarang. Pada suatu malam, kira-kira jam 21 sehabis kami sekeluarga nonton Astrofest, pameran mengenai antariksa, saya dengan santai menyetir pelan-pelan pulang ke rumah. Eh, kira-kira dua kilometer sebelum nyampai rumah, mobil saya diberhentikan polisi. Waduh, ada apa nih? Saya udah panik aja, soalnya saya banyak denger cerita di sini, kalo polisi membehentikan kita, akan banyak duit yang keluar; bukan diberikan kepada pak polisi kayak di ... (di mana ya?), melainkan buat membayar denda. Misalnya ada temen yang melanggar batas kecepatan, terus ditangkap polisi, kena denda $150 (hampir 1.5 juta rupiah). Ada temen lain yang lampu remnya mati, diberhentikan polisi, malah mesinnya diperiksa segala sama polisi itu, keluar biaya $900 karena harus mengganti mesin yang olinya bocor.

Nah, tentu saja saya panik gara-gara disetop di malam yang dingin dengan angin sepoi-sepoi itu (halah!). Saya pun berhenti, dan segera buka pintu. Si Pak Polisi segera nanyain SIM saya (STNK gak ditanya, entah kenapa. Catatan: SIM Indonesia laku di sini, jadi no problemo), terus dia kasih ke temennya yang nyetir. Pak Pol yang pertama tadi terus nanya sesuatu yang saya bingung saking paniknya, terus diulangi lagi, ternyata dia nanya anak yang duduk di belakang (si Aby) anak siapa dan umur berapa. Siap pak, jawab saya, anak saya, umurnya 10 (kalo berumur di bawah 7 tahun harus pakai buster tempat duduk). Terus dia berjalan mengelilingi mobil saya. Dalam hati, tuh bener kan dia mulai cari-cari kesalahan lainnya?. Untunglah kap mesin tidak dibuka sama dia, mungkin karena udah malem. Habis keliling mobil saya, dia bilang, lihat tuh ban belakang kirimu udah botak, sambil menyenter ban yang bernasib malang itu. Wah, bener juga, ternyata bannya udah gundul, lebih botak daripada kepala saya. Wah, alamat kena denda nih!

Terus dia bilang: udah kamu tunggu di situ, saya balik ke mobil saya dulu. Setelah itu dia balik ke mobilnya, dan bicara entah apa kepada temennya yang di belakang setir. Saya sudah pasrah menanti vonis. Tak lama, ternyata dia bilang 'Udah gak apa-apa, gak ada masalah. Terima kasih'. Nah, ternyata cuman begitu doang, tidak ada denda, tidak ada tilang, hanya saya suruh ganti ban saja, yang tentu saja sampai sekarang belum saya laksanakan! Sampai sekarang juga saya tidak tau kenapa saya disetop sama polis itu!

Manajemen Modern


Teori manajemen kuno menyatakan bahwa supaya hasilnya optimum, pekerjaan harusnya diserahkan kepada orang-orang yang terspesialisasi dalam bidang-bidang tertentu, bukan borongan kepada orang yang bisa segala hal. Saya rasa orang-orang sini sangat mempraktekkan hal itu, walaupun kerjaan jadi bertele-tele.

Contohnya, berkaitan dengan peristiwa WC mampet kemarin dulu itu. Peristiwanya udah tejadi lebih dari seminggu yang lalu (tepatnya 10 hari), tapi sampai sekarang belum selesai juga. Kronologisnya begini, sehabis peristiwanya terjadi, saya telpon si agen, si agen kemudian nelpon tukang pipa (plumber). Tukang datang, ternyata tidak bisa menyelesaikan. Dia telpon property manager, tidak diangkat, cuman ninggalin pesen. Begitu saya nyampai hotel, property manager datang ke apartemen minta dibukain kunci ya tentu saja gak bisa, saya kan sudah check in, dan sudah nonton siaran langsung F1 di kamar hotel yang mahal itu.

Besoknya tukang yang dipercaya property manager datang, kemudian memperbaiki kloset yang mampet. Besoknya lagi, orang yang lain lagi dari perusahaan cleaning service membersihkan kamar mandi dan mendisinfektan ruangan (makanya apartemen saya baunya kayak rumah sakit). Besoknya lagi ada orang asuransi datang mengecek kerusakan akibat tragedy WC itu. Pada hari yang sama datang lagi tukang lsitrik mengecek apakah ada kerusakan listrik.

Sudah selesai? Belum juga, karena besoknya lagi datang tukang (bahasa Inggrisnya ternyata handyman) melihat lemari kamar mandi yang rusak. Tiga hari kemudian si tukang datang sambil membawa bahan-bahan untuk memperbaiki yang rusak itu (Pertanyaan: mengapa si tukang waktu datang pertama kok cuman melihat doang, tidak langsung memperbaiki? Saya juga gak tau jawabnya).

Kemarin, datang lagi carpet cleaner untuk mencuci karpet di living room saya yang kotor diinjak-injak oleh sepatu kotor orang-orang yang datang silih berganti itu. Nah, besok baru akan datang orang lain lagi yang akan mengganti karpet ruang tdur saya. Bayangin, entah berapa orang berbeda yang datang bergantian ke tempat saya gara-gara peristiwa itu (agen, plumber1, property manager, plumber2, cleaner1, carpet cleaner, handyman, tukang lsitrik, orang asuransi, dan orang pemasang karpet). Ampuuunnn…

Merana di Hotel

“Merana di hotel karena WC di rumah mampet” . Tadinya itulah yang mau saya tulis di status FB saya. Tapi terus saya bayangkan ntar banyak yang menghujat dan ngata-ngatain saya sombong wong tidur di hotel kok merana, makanya update tadi tidak jadi saya post. Tapi bener, baru sekali itulah saya nginep di hotel dan merasa teraniaya.

Begini ceritanya. Minggu kemarin sore sehabis acara outing pengajian istri, kami dengan badan yang rada loyo balik ke apartmen. Begitu buka pintu kok tercium bau yang tidak lezat. Pas saya mau masuk kamar mandi, begitu buka pintu ternyata lantai kamar mandi sudah basah kuyup dengan si “T” kuning mengapung dimana-mana! Waduh, apa yang terjadi nih? Liat punya liat, kayaknya WC nya mampet. Mesti kemana nih, mana ini hari Minggu lagi, badan capek, agen apartemen pasti libur, terus saya nelpon ke mana?

Barulah saya sadari bahwa ternyata saya tidak punya nomor Hp si agen yang namanya Rayna tadi. Tapi emang orang sini nomor ponsel gak disebar kemana-mana! (Catatan: saya aja sampai sekarang gak punya nomor ponsel professor saya, selama ini komunikasi lewat email). Setelah bongkar sana bongkar sini, saya cari di dokumen kontrak, ternyata ada nomor darurat yang bisa dihubungi. Saya telpon (sambil mikir-mikir WC mampet bahasa Inggrisnya apa ya? Halah!), ternyata gak ada yang ngangkat. Jadi jengkel, wong nomor darurat kok gak bisa dihubungi, maksudnya apa?!!! (tanda serunya tiga saking jengkelnya).

Akhirnya di sela-sela bau yang tidak sedap itu, saya tulis sms ke nomor itu menceritakan segala peristiwa itu. Untunglah, tidak lama kemudian si Rayna nelpon menanyakan apa yang terjadi (heran juga kenapa tadi telpon gak diangkat). Setelah duduk perkaranya ketahuan, Rayna segera berjanji untuk mendatangkan tukang.

Sambil harap-harap cemas takut airnya nambah banjir, karena apartemen saya ada di bawah sementara saluran pembuangan penghuni di lantai atas juga menggunakan jalur yang sama, saya tunggu si tukang datang. Tak lama kemudian dia datang, sambil membawa sebatang tongkat dan lalu mengogrok-ogrok itu kloset (mengogrok-ogrok bahasa Indonesianya apa ya?). Setelah kira-kira 15 menit, ternyata si tukang menyerah, usaha gagal. Waduh, mana air bertambah banyak lagi, udah mulai mengalir ke karpet kamar tidur, apartemen semakin semerbak mewangi.

Si tukang segera mengontak property manager, ternyata gak diangkat (kesimpulan: jangan nelpon orang Ostrali kalo hari libur, dijamin gak diangkat!). Dia pun pulang dengan tangan hampa. Bukannya si air mengering, malah sekarang udah mengalir dengan tenangnya membasahi kamar. Saya tambah panik, udah mau jam 9 malam, ntar tidur di mana? Dengan panik saya sms lagi si Rayna, ini gimana nih, air udah MEMBANJIR ke kamar tidur (sengaja pakai hurup besar). Segera dia telpon saya, terus bilang kamu tidur aja di hotel, nanti biaya kami ganti. Hah? Gak salah nih, biaya diganti?

Langsung terbayang kesempatan nih nginep hotel bintang lima! Tentunya saya tidak ‘sejahat’ itu, mentang-mentang biaya diganti terus mau foya-foya! Saya telpon hotel yang saya inepin waktu datang dulu, ternyata penuh. Saya telpon beberapa hotel deket rumah, lha kok ya penuh semua! Apa mendadak orang sekitar sini WC-nya pada mampet rame-rame? Setelah nelpon yang kelima, baru ada kamar kosong. Taripnya $160 saja semalem (kalo rupiah sekitar 1.5 juta nih, udah dapet Santika Premier!). Letak hotelnya di pinggir jalan tol. Begitu check-in ternyata kamar $160 itu kayak hotel bintang dua di Jakarta sana, biasa banget! Itu lho kalo di Amrik kayak hotel di pinggir highway (maaf buat Anda yang belum pernah ke Amrik). Gak ada sarapan pagi, dan check-out jam 11 pagi (itu juga setelah saya rayu, tadinya disuruh jam 10). Tariff segitu kalo di Jakarta udah dapet sarapan pagi, kamar dengan bath tub, sama disenyumin sama semua staf hotel, mungkin mobil juga dicuciin. Lha di sini, senyum sedikitpun dari resepsionis kagak ada! Padahal saya bayar kontan lho! Awas ya!

Besoknya jam 11 tepat, saya check-out. Belum tau menuju kemana, wong saya telpon Rayna, rumah belum beres. Terpaksa kami menghabiskan waktu di taman gelar tiker, trus cari makan siang, terus ke swalayan sambil menunggu berita lebih lanjut. Mau buking hotel lagi, takutnya rumah beres, dan biaya hotal gak ditanggung. Setelah tunggu punya tunggu, jam empat sore baru dapet berita dari Rayna, rumah belum selesai, kamu nginep hotel lagi. Segera saya telpon hotel yang semalem mau nginep lagi. Ternyata penuh! Ya ampun, kenapa sih orang sini pada seneng nginep hotel? Saya telpon sana sini lagi. Setelah telpon enam hotel (lebih sulit dari yang kemarin), barulah saya dapet kamar kosong, tapi tarifnya lebih mahal lagi, yaitu $250 semalem! Itu kira-kira Rp2,4juta saja! Rasain kamu Rayna, biar bangkrut!

Segera saya check in, namanya Metro Hotel. Tetep saja si resepsionis tidak kasih senyum! (saya curiga aja apa gara-gara saya bukan bule saya gak pernah dikasih senyum? Apa mereka gak tau senyum itu ibadah?). Udah tarifnya mahal, saya harus nunjukin paspor lagi. Untung paspor dibawa. Eh, udah gitu masih suruh bayar lagi uang jaminan $100, padahal saya bayar di muka untuk satu malem $250 kontan! Jadi malem itu saya keluar duit $350 tanpa mendapat senyum dari resepsionis maupun satpam (gak ada satpam di sini), atau room boy (gak ada juga room boy), gotong-gotong tas sendiri, check out jam 10 pas, dan sekali lagi tanpa dapet sarapan! Kebayang kalo nginep dengan tarip segitu di Indonesia, paginya pasti udah dapet sarapan komplit mau menu Indonesia maupun kontinental maupun American breakfast!

Besoknya jam 10 teng kami check out, dan menuju rumah. Ternyata masalah mampet udah kelar, tapi petugas pembersih baru mulai membersihkan. Terpaksa luntang-lantung di taman lagi! Karena jengkel, kami cari sop buntut di kafe Betawi deket highway, ternyata sop buntut gak ada, adanya soto Betawi, lumayan juga sebagai pelipur lara! Baru jam 14 kami balik ke rumah. Ternyata kondisi apartemen berantakan. Karpet tempat tidur dipotong separo (yang bau dibuang). Lemari di kamar mandi dicopot, cermin ditaruh di lantai, bau disinfektan di mana-mana. Tapi yang penting udah home sweet home! Sebuah petualangan yang tidak menyenangkan!