Minggu, 21 Desember 2014

Epilog

Ini serius. Setelah saya pikir-pikir dan saya alami, sekolah di luar negeri itu “akan indah pada waktunya”. Maksudnya gini lho, segala kesulitan, tantangan, dan hambatan yang dialami seseorang waktu menjalani kehidupan di sana, akan terasa indah bener-bener setelah kita berada kembali di tanah air. Ini bukan berarti bahwa semuanya nggak enak lho ya. Maksudnya selain mendapat manfaat dari sekolah itu –misalnya dapet gelar terus dapet pekerjaan yang lebih baik setelah lulus—semua hal yang terjadi waktu di mancanegara akan terpatri (halah!) dalam memori kita dan keluarga. Misalnya waktu saya sekolah di Amerika  momen-momen mempunyai anak yang lahir di sana tentu tidak akan terlupakan, walaupun waktu itu terasa hidup susah, karena tidak ada pihak keluarga yang membantu mengurus anak yang baru lahir dan mau nanya juga kepada siapa, semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Demikian juga waktu sekolah di Australia, semua hal-hal yang menjengkelkan dalam kehidupan sehari-hari dan menyulitkan pada waktu penulisan tesis, akan terasa “tidak ada apa-apanya” setelah kita selesai sekolah. Justru dengan mengingat-ingat apa yang telah terjadi, membuat kita mensyukuri apa yang ada sekarang.

Sekarang bagian enaknya. Yang terutama, hidup dan sekolah di luar negeri itu akan membuka mata kita selebar-lebarnya. Oh, ternyata gini toh luar negeri itu. Pengalaman seperti ini tidak akan bisa kita peroleh kalo kita cuma membaca atau mendengar saja. Tidak juga akan kita alami kalo kita cuman menjalani kunjungan singkat (sebagai turis misalnya), karena kalo kita berwisata keluar negeri, kita cenderung melihat yang indah-indah saja. Dengan hidup di luar negeri, kita jadi punya wawasan tentang dunia luar, bagaimana suatu negara dikelola, juga bagaimana wujudnya adat, kebiasaan, dan budaya orang. Dari situ lantas kita bisa memilih mana yang bisa kita adopsi dan mana yang sebaiknya tidak kita tiru.

Selain membuka wawasan, tentunya hidup di luar negeri, juga membawa manfaat-manfaat praktis. Yang terutama, banyak kesempatan jalan-jalan. Jalan-jalan ini tidak harus mahal. Misalnya pergi ke pantai yang sangat terjaga kerapihannya dan lengkap fasilitasnya (kamar bilas, toilet, tempat sampah, parkir), tidak dipungut biaya. Juga taman-taman umum yang luas, bersih, dan menyegarkan dan juga lengkap dengan ubo-rampenya (alat-alat fitness, barbeque, toliet, parkir), tidak memungut biaya bagi pengunjungnya. Dengan mengalami begini, kita jadi tau sampai sejauh mana, negara tercinta kita Indonesia ini, melayani kebutuhan rakyatnya.

Manfaat lain yang sudah pasti adalah kita bisa menjadi warga dunia. Artinya dengan sudah menjalani kehidupan di luar negeri, kita tidak akan “takut” pergi kemana-kemana karena kita sudah tahu caranya berkomunikasi dengan mereka dan sudah memahami bagaimana mereka berinteraksi dengan orang. Dengan hidup di luar negeri, kita mau tidak mau dipaksa untuk bisa berbahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris, tentunya apabila Anda bergaul secara luas dengan semua orang, bukan hanya dengan sesama teman Indonesia saja (Anak saya saja malah bahasa Inggrisnya lebih bagus daripada saya). Saya yakin, dengan keterampilan bahasa ini dan juga pemahaman Anda tentang budaya orang, kemanapun Anda pergi, tidak akan takut. Anda misalnya kalo disuruh tinggal di kota lain, misalnya ‘kamu harus pindah ke Middlesbrough tahun depan ya selama setahun’, pasti Anda tidak akan blingsatan kalo Anda pernah tinggal di luar negeri (misalnya di Sydney), daripada kalo Anda yang seumur-umur tinggal di Solo, misalnya. Atau tiba-tiba Anda entah bagaimana nyasar di bandara di Sevilla sana (yang belum pernah Anda kunjungi), tentu Anda tidak akan bingung kalo Anda sudah pernah tinggal di luar negeri (di mana pun), dibanding dengan misalnya Anda yang selamanya tinggal di Makassar sana.

Kalo punya duit banyak, Anda akan lebih beruntung lagi, bisa menjelajah tempat-tempat lain. Pengalaman saya, setelah memeras keringat membanting tulang seperti saya sampaikan sebelumnya, saya yang tinggal di Perth selain bisa pergi ke kota-kota sekitar sini, juga bisa jalan-jalan ke Melbourne, Sydney, Gold Coast, Brisbane, Auckland dan mengunjungi tempat-tempat wisata di sana. Atau waktu saya sekolah di Amerika, saya bisa pergi ke Washington DC, Pittsburg, San Fransisco, Los Angeles, Las Vegas. Apakah saya pamer maksudnya nulis ini? Bukan, ini cuman mau mingin-minginin Anda saja!

Terus gak enaknya tinggal di luar negeri? Seperti yang saya bilang tadi, yang gak enak pun sebenarnya ‘enak’ juga, jadi mari tidak kita bicarakan hal ini di sini lagi!

Terakhir, tentang sekolah PhD itu? Harus diakui bahwa sekolah PhD lumayan berat, karena itu adalah jenjang tertinggi akademik. Memang dibutuhkan kerja keras dan daya tahan yang tinggi. Tapi sejujurnya saya tidak merasakan berat-berat amat kok. Memang ada kalanya semangat naik turun, tapi kalo kita bisa ingat kembali kepada tujuan sebenarnya tinggal di luar negeri, saya yakin kok bisa selesai. Saya rasa kata kuncinya satu: kita bisa memanfaatkan waktu secara efektif. Saatnya nulis ya nulis dengan benar, saatnya cari duit ya cari duit, dan saatnya jalan-jalan sama keluarga ya silakan jalan-jalan. Saya aja yang tidak pernah lembur di kampus (saya hanya di kampus dari jam 9 pagi sampai jam 14, Senin sd Jumat, Sabtu Minggu libur), bisa selesai kok! Oya, satu kunci lagi: bahasa Inggris Anda harus bagus, karena itu akan mempercepat pemahaman waktu membaca, memudahkan komunikasi, dan juga memudahkan waktu menulis. Itu aja!

Kesimpulannya? Ayo pada sekolah di luar negeri! Lebih banyak enaknya daripada tidaknya. Percayalah! Kan yang nulis ini seorang PhD!

Kamis, 27 November 2014

Tinggal printilannya


Habis itu, apa yang harus saya lakukan? Ternyata tidak begitu penting-penting lagi. Saya segera periksa revisi apa yang harus saya lakukan berdasar penilaian dari Emaniner 1, karena Examiner 2 tidak menyuruh revisi apapun. Setelah saya liat, ada 18 item yang harus diperbaikin tapi ternyata hanya masalah bahasa aja dan juga sedikit perubahan kalimat biar jelas. Ini sih gampang banget!

Lalu saya email Ibu Prof yang baru, apa yang harus saya lakukan. Ternyata beliau mau wawancara langsung lewat skype. Ya sudah pada hari dan jam yang ditentukan, terjadilah ngobrol jarak jauh itu. Semuanya beres, saya diberi waktu dua minggu buat revisi. Dua minggu kemudian revisi saya kirim ke dia. Dia tidak ada perlawanan, semuanya setuju. Kemudian diteruskan ke ketua dewan penguji. Sama, dia juga gak ada perlawanan. Jadi tugas saya selesai.

Oya, setelah saya liat, ternyata examiner 2 yang tidak menyuruh apa-apa itu malah merekomendasikan bahwa saya layak untuk diberi penghargaan dari Rektor sebagai salah satu tesis terbaik! Ah yang bener? Ternyata bener! Ibu Prof yang baru juga bilang bahwa rekomendasi sudah diteruskan ke tingkat universitas untuk dipertimbangkan! Wow!

Jadi? Ya begitulah, semua sudah selesai dan saya bentar lagi menyandang gelar PhD (dan juga dapet penghargaan dari Pak Rektor!). Cihuy!

Selesai sudah petualangan saya empat tahun di Australia!

Dengan ini saya putuskan...


Akhirnya, setelah menunggu yang tak pasti, tanggal 21 Oktober (alias tiga bulan kurang sembilan hari), saya mendapat email dari Chair Commitee alias ketua dewan penguji. Emailnya kayak gini:

Dear Budi,

I have now received examiner reports of your thesis (attached). Both examiners have recommended pass –B1 and A. Well done and congratulations.
Both examiners have recommended some revisions and amendments.  Could you please organize to revise the thesis in consultation with your supervisor?

Wuhuyy!!! Tenyata saudara-saudara, saya dinyatakan lulus! Bukan hanya lulus, melainkan satu examiner nilainya A (alias tidak perlu revisi sama sekali) dan satunya lagi B1 (alias lulus dengan minor revision)!

Saya segera forwardkan email tadi ke istri saya dan ke mantan Prof saya biar pada segera tahu. Tidak lupa juga telpon ke orangtua yang sebenarnya tidak begitu paham kenapa kok saya gak segera dinyatakan lulus.

Abis itu langsung saya pasang headphone di telinga saya, colokin ke iPhone dan setel lagu ‘We are the Champions’ dari Queen yang saya beli seharga $1.9 di Itunes. Volume disetel pol. Begini liriknya:

I've paid my dues
Time after time.
I've done my sentence
But committed no crime.
And bad mistakes ‒
I've made a few.
I've had my share of sand kicked in my face
But I've come through. 
(And I need just go on and on, and on, and on)

We are the champions, my friends,
And we'll keep on fighting 'til the end.
We are the champions.
We are the champions.
No time for losers
'Cause we are the champions of the world.

Hahaha rasanya udah paling top sedunia! 

Menunggu, Part2


Walaupun saya sudah pulang dan menikmati makanan enak-enak di Indonesia dan juga hidup dengan kebanggaan ‘semu’ sebagai seorang PhD baru, sebenarnya saya dalam hati menduga-duga apa yang akan terjadi dengan tesis saya itu. Apakah saya lulus, lulus dengan revisi, apakah harus submit ulang, ataukah malah tidak lulus? Yang terakhir ini amit-amit deh!

Tesis sudah saya submit tanggal 1 Agustus. Sesuai petunjuk di website, saya minimal menunggu enam minggu sebelum saya mendapatkan penilain dari examiner. Wah ini enam minggu sudah berlalu kok saya belum mendapatkan hasil apa-apa? Ada apa nih? Saya juga tidak mendapat ‘bocoran’ dari profesor saya yang sekarang sudah mantan itu.

Karena sudah tidak sabar menunggu, tanggal 22 September (sesudah tujuh minggu sejak submit) saya email ke mantan Prof saya itu. Tentunya saya tidak langsung menanyakan bagaimana hasil tesis saya (gengsi dong!). Malah sebaliknya, saya ceritakan bahwa kami sekeluarga sudah kembali dengan baik-baik di Indonesia, si Aby udah sekolah, saya udah balik kerja, jalanan masih macet, polusi masih tinggi, bla bla bla. Saya sama sekali tidak nanya masalah tesis itu.

Wah tumben si Prof gak langsung bales email saya (mungkin setelah mantan, dia jarang buka email). Tanggal 26 dia baru bales email. Ternyata dia lagi sibuk dengan keluarganya dan ultah anaknya. Dan juga ternyata dia sakit (gak tau sakitnya apa) dan akan perlu operasi. Waduh! Perihal tesis, malah dia menyampaikan bahwa terjadi pergantian examiner, karena ternyata si Ibu Prof yang waktu itu hadir di konferensi saya batal menjadi examiner karena mau pensiun. Cilaka nih, tambah lama aja prosesnya. Akhirnya dia mengajukan dua nama lainnya, sebagai ganti Ibu Prof itu.

Kembali saya menunggu di tengah ketidakpastian. Kalo menunggu Part 1 dimana draft tesis saya serahkan ke Prof untuk diteliti, lebih pasti waktunya yakni sekitar tiga minggu, maka menunggu Part 2 yakni pengumuman dari examiner ternyata lebih lama dan lebih tidak pasti lagi...

Selasa, 25 November 2014

Balik Beneran ke Indonesia


Akhirnya selesai sudah empat tahun saya di Australia. Pas tanggal 1 Agustus 2014, saya balik lagi. Saya sendiri kadang bertanya-tanya kok ya submitnya pas di hari terakhir beasiswa (yang lewat sehari aja langsung kena denda), kok kayak gak ada hari lain aja. Sebenarnya saya maunya submit sebelumnya tapi apa boleh buat karena harus lebaran di rumah (maklumlah udah empat kali saya berlebaran di Perth yang percayalah rasanya gak enak), situasinya jadi ribet kayak gitu.

Lalu gimana rasanya balik? Yang pasti hampir semua orang yang saya kenal, menyangkanya saya udah lulus, alias sudah menjadi PhD. Kenyataannya saya masih harus nunggu lagi penilaian dari dua orang examiner yang bisa memakan waktu minimal enam minggu sampai dengan setengah tahun, begitu kata website Curtin. Nanti examiner akan menilai apakah tesis saya lulus dengan tanpa revisi (biasanya disebut lulus dengan nilai A di sini), lulus dengan sedikit revisi (nilai B1), lulus dengan banyak revisi (nilai B2), tesis harus disusun ulang (nilai C), atau malah gak lulus (nilai D). Amit-amit dah! Berhubung orang-orang yang ketemu saya selalu ngucapin ‘wah , selamat ya udah jadi Doktor!’, saya ya bilang terima kasih aja, soalnya rada susah kalo mau jelasin ke semua orang itu bahwa kira-kira nanti setengah tahun lagi baru saya jadi PhD beneran!

Yang paling ‘lucu’ adalah kejadian kemarin dulu waktu ada acara akad nikah salah seorang saudara saya. Saya kebetulan ditunjuk sebagai wakil dari pihak mempelai laki-laki untuk memberikan sambutan pengantar dalam acara akad nikah (rupanya salah satu tugas dari seorang PhD adalah memberi sambutan kalo ada acara keluarga!). Saya sama nyonya berdiri di paling depan, di depan calon pengantin beserta para pengiringnya di belakang. Sesuah siap, MC acara pun berkata ‘marilah kita ikuti sambutan dari keluarga calon mempelai pria, Bapak Budi Susila, Ak., MA, PhD’. Waduh, baru sekali itulah nama saya disebut lengkap beserta gelar-gelar akademis saya, bahkan termasuk ‘PhD’ yang belum resmi saya sandang itu! Entah siapa yang memberikan informasi gelar lengkap saya itu. Mungkin juga dirancang begitu supaya terlihat mentereng dan supaya ‘gak kalah’ sama pihak calon besan, kan gak setiap keluarga ada PhDnya! (Halah!). Tentu saja saya rada tersenyum mendengar pengantar dari MC tersebut, dan lalu saya memberikan sambutan dengan gaya yang sok berwibawa, yang kira-kira pantas keluar dari seorang Doktor beneran. Untunglah kayaknya semuanya cukup puas dengan PhD gadungan ini!

Sementara menunggu hasil dewan penguji tesis, saya pun juga harus balik ke kantor saya di Kementerian Keuangan (kan saya ikatan dinas!). Kembali semua orang yang ketemu menyelamati saya, saya saya mah terima kasih aja. Sekali lagi, menjelaskan bahwa saya belum PhD beneran rada sulit, sehingga ya saya iya-iya aja (sambil sedikit meninggikan mutu!).

Waktu dulu sebelum pulang, pihak International Office Curtin pernah ngadain seminar tentang ‘going home’ bagi calon mahasiswa yang udah mau pulang selamanya. Salah satu yang diwanti-wanti mereka adalah adanya reverse culture shock, yakni kejutan budaya di tanah air setelah sekian lama ditinggalkan. Apakah saya mengalami hal itu? Kayaknya sih gak juga, soalnya Indonesia terutama Jakarta ya gitu-gitu aja, tidak membuat terkejut dan bingung. Jalanan lebih macet itu sudah pasti, orang-orang gak mau antre ya saya sudah maklum dan gak perlu ngomel-ngomel. Sepeda motor melanggar lampu merah? Tidak aneh lagi. Nyari parkir di mal sulit? Cerita lama! Cuman cuaca panasnya yang gak nahan, tapi itupun dua minggu udah biasa lagi.

Yang culture shock justru menyenangkan, yaitu harga makanan lezat nan murah banget! Kalo biasanya mie ayam di Bintang Cafe harganya $8.5 maka di Bakmi GM cuma Rp22 ribu alias gak ada tiga dolar. Lontong sayur yang enak banget deket rumah cuma Rp11 ribu, cuman satu dolar kira-kira! Gado-gado enak deket lapangan tenis tempat saya main cuma 14rb! Cuman sayangnya ada satu yang mengganjal: penghasilan saya sekarang dalam rupiah. Jadi ya impas lah!

Kayaknya yang paling senang kami pulang,ya anak saya si Aby. Dia bisa ketemu saudara-saudara yang kecil-kecil (maklum dia anak tunggal), terus bisa nginep di tempat mereka. Dia juga masuk SMP (swasta Islam) yang besar banget yang dia cita-citakan (entah kenapa dia ingin ke sekolah itu juga saya gak tau) dan ketemu teman-teman baru. Walaupun saya yakin dia agak kesulitan pakai bahasa Indonesia di sekolah (sekolahnya pakai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar), karena sampai sekarang saya sekeluarga pakai bahasa Inggris di rumah!

Minggu, 23 November 2014

Hari Keramat Telah Tiba

Setelah mendapat masukan dari Pak Prof dan masuk bengkel bahasa, maka tesis saya siap untuk diserahkan kepada pihak universitas untuk diteruskan ke examiner alias dewan penguji. Tampaknya sih sederhana, tapi ternyata prosesnya cukup ruwet!

Mengapa demikian, karena itu saatnya pas dengan bulan Ramadhan. Ceritanya kan keluarga saya udah pulang pertengahan Mei 2014 karena kontrakan apartemen saya udah habis. Lalu saya melanjutkan sendiri menulis tesis di rumah temen di Perth. Kemudian menyerahkan draft akhir tesis ke Pak Prof, abis itu saya pulang (habis mau ngapain lagi di Perth, kan gak ada kegiatan). Tiga minggu kemudian saya balik ke Perth, ketemu Prof terus betulin draft komplet. Abis dibetulin, terus dijilid, lalu dikasih ke editor bahasa (proofreader). Abis itu balik lagi ke Jakarta karena ya gak ada kegiatan lagi dan juga karena udah bulan puasa. Tiga minggu kemudian si editor ngemail bahwa kerjaannya udah selesai, sehingga saya harus terbang lagi ke Perth untuk mendiskusikannya. Kemudian keluarga menyusul ke Perth tanggal 16 Juli 2014 untuk melakukan wisuda (pura-pura). Seminggu jalan-jalan, keluarga balik lagi ke Jakarta karena mau lebaran, saya menyelesaikan editing. Saya akhirnya pulang juga ke Jakarta walaupun editing belum saya selesaikan, soalnya udah lebaran minus tiga hari. Bayangin sibuknya bolak balik!

Nah, babak-babak terakhir itulah situsasi jadi ruwet. H minus tiga lebaran mendarat Jakarta, H minus dua terbang ke Salatiga untuk berlebaran, kemudian H plus dua balik Jakarta, lalu nyambung ke Perth lagi tanggal 30 Juli 2014. Sementara paling lambat saya harus submit terakhir tanggal 1 Agustus 2014, lewat itu saya harus bayar pakai duit sendiri biaya kuliah kira-kira $90 per hari (dihitung harian sampai dengan saat menyerahkan tesis). 

Nyampai Perth sore hari, langsung saya lanjutkan editing. Setelah selesai saya print malem tanggal 31 Juli, besoknya yakni 1 Agustus 2014, hari terakhir deadline,  saya ketemu dengan Prof saya di sebuah kafe untuk melapor bahwa saya siap submit (sebelumnya udah janjian dulu) dan meminta doa restu (halah!). Di akhir pertemuan, saya merayu si Prof untuk menandatangani surat pengantar submit, siapa tau masih ‘laku’ walaupun dia sudah diberhentikan oleh Curtin. (Catatan: Karena Prof saya udah gak kerja di universitas, dia tidak berwenang menandatangani surat pengantar submit. Supervisor yang baru, Ibu C, adalah pejabat universitas yang sangat sibuk, dan sialnya pas tanggal itu dia ada di Sydney ada acara, baliknya nanti sesudah tanggal keramat 1 Agustus, sehingga kalo nunggu dia, maka saya bisa relat submit dan saya harus bayar dendanya).

Abis ketemu si Prof itu, saya ke kampus untuk mengambil surat pengantar submit asli yang saya titipkan ke sekretaris Prof C itu untuk ditandatangani supervisor baru. Eh, dasar ini sekretaris oon, suratnya ternyata gak disampaikan ke Ibu C. Pas saya dateng ke sekretarisnya (yang tidak muda itu), dia bilang ‘gak ada kok formulirnya’ dengan tanpa perasaan bersalah. Saya rada ngotot juga ‘udah kok dikirim lewat email, coba dicek’. Terpaksa kita berdua ngecek inbox di emailnya dia, dan benar, email saya ngejogrok dengan manis di situ, tanpa pernah dia buka. Walah! Untunglah saya udah punya surat pengantar submit ‘cadangan’ yang ditandatangani prof asli saya tersebut. Kalau tidak ya saya harus nunggu si Ibu dateng ke Perth yang entah kapan, sambil bayangin berapa denda yang harus saya bayar.

Akhirnya tesis beserta surat pengantar cadangan dengan selamat saya setor ke pihak univeristas, dan lalu mendapatkan tanda terima submit, sebuah dokumen yang sangat berharga dan maha penting, yang menandakan bahwa saya sudah selesai sekolah dan boleh pulang! Periode empat tahun paling berat dalam hidup saya  sudah berakhir. Segara saya beli tiket balik dan malemnya pulang langsung ke Jakarta dengan perasaan merdeka semerdeka-merdekanya! Prinsipnya: yang penting submit dulu, urusan hasil belakangan! 

Jumat, 21 November 2014

Hore Saya (Pura-puranya) Diwisuda...


Momen paling berkesan bagi seorang yang sekolah adalah kalo sudah diwisuda, benar? Tapi bagi saya tidak. Mengapa? Karena saya cuman diwisuda pura-pura aja!

Begini maksudnya: kan di Curtin itu banyak mahasiswa asingnya baik S2 maupun S3. Nah, kalo untuk mahasiswa S2, berakhirnya semester berarti mereka udah beneran lulus, dan berhak mendapatkan ijasah. Nah, buat mahasiswa S3, berakhirnya semester berarti ya tidak berarti apa-apa, karena sekolah dinyatakan berakhir apabila telah submit tesis. Nah, tiap akhir semester, pihak International Office di Curtin menyelenggarakan wisuda bagi international student-nya. Ini bukanlah wisuda resmi dengan segala rektor dsb yang hadir, melainkan untuk melepas mahasiswa internasional yang mau pulang karena selesai S2 dan waktunya sebelum ada wisuda tingkat universitas yang besar acaranya tapi dilakukan kira-kira tiga bulan setelah semester berakhir. Nah kan gak mungkin mahasiswa internasional ini nunggu 3 bulan di Perth untuk nunggu wisuda (bisa bangkrut dia) atau pulang dulu terus nanti balik lagi untuk diwisuda tiga bulan kemudian (kan boros!). Nah untuk itulah diadakan acara khusus oleh Curtin untuk mewisuda S2 ini.

Lha yang S3 kenapa ikut diwisuda? Ingat, murid S3 akan pulang setelah submit tesis. Nah, tiap orang kan pulangnya berbeda-beda karena submitnya kan beda-beda tanggal. Untuk itulah buat mahasiswa S3 yang kira-kira selesai semester ini, diikutkan juga untuk ‘wisuda’ alias pura-pura sekaligus perpisahan buat mereka (termasuk saya ini). Tapi pura-puranya ini beneran lho, pake toga segala, untuk S3 pake toga ungu biar terkesan angker dan sekaligus bijaksana! Untuk itulah pada pertengahan Juli ini kami sekeluarga balik lagi ke Perth (ingat, keluarga sudah saya pulangkan Mei sebelumnya). Ini di tengah-tengah bulan puasa lho! Mana musim dingin lagi! Tapi demi sebuah foto wisuda, maka kamipun meluncur ke lokasi dengan pakaian formal jas buat saya sama Aby, sama kebaya buat nyonya. Uhuy! Bayangin winter pakai kebaya.

Upacara diadakan di stadion Curtin yang megah itu. Keluarga para wisudawan juga pada dateng (keluarga saya gak ada yg dateng—kecuali anak dan istri, kan berat di ongkos). Kira-kira yang diwisuda adalah 30 orang terdiri dari 8 ‘wisudawan’ S3 dan sekitar 20an S2 (beneran). Tidak pakai gladi resik segala, kami dipanggil satu-satu masuk panggung. Setelah duduk, lalu dipanggil satu-satu untuk menerima ‘ijasah’ (padahal isinya cuman ucapan selamat berpisah), dengan disebutkan nama, asal negara, judul tesis, sama nama profesor pembimbingnya (Pak Prof khusus saya undang walaupun dia sudah pengangguran!). Tidak lupa pula difoto waktu penyerahan ‘ijasah palsu’ itu dan disalamin entah siapa (yang pasti bukan rektor), sambil senyum lebar seolah-olah sekolah selesai. Padahal submit aja belum!

Habis acara, foto-foto dengan bahagia (enggak bener-bener bahagia, karena belum lulus), foto bersama Pak Prof, sama yang lain-lain, sambil nyengir sana sini. Terus juga foto-foto di berbagai macam lokasi kampus berpindah-pindah, sampai haus banget (kan puasa!).  Maklum baju toga pinjaman harus dibalikin paling lambat jam 14 hari itu juga! Tidak lupa istri saya majang-majang foto ‘wisuda’ tadi di media sosial: facebook, path, instagram dsb., biar dikira lulus! Terpaksa saya terima kasih aja diucapin selamat sama temen-temen.

Walaupun pura-pura wisuda, tapi ternyata lumayan lho foto-foto dengan toga yang serem itu. Rasanya kayak udah lulus beneran!