Minggu, 21 Desember 2014

Epilog

Ini serius. Setelah saya pikir-pikir dan saya alami, sekolah di luar negeri itu “akan indah pada waktunya”. Maksudnya gini lho, segala kesulitan, tantangan, dan hambatan yang dialami seseorang waktu menjalani kehidupan di sana, akan terasa indah bener-bener setelah kita berada kembali di tanah air. Ini bukan berarti bahwa semuanya nggak enak lho ya. Maksudnya selain mendapat manfaat dari sekolah itu –misalnya dapet gelar terus dapet pekerjaan yang lebih baik setelah lulus—semua hal yang terjadi waktu di mancanegara akan terpatri (halah!) dalam memori kita dan keluarga. Misalnya waktu saya sekolah di Amerika  momen-momen mempunyai anak yang lahir di sana tentu tidak akan terlupakan, walaupun waktu itu terasa hidup susah, karena tidak ada pihak keluarga yang membantu mengurus anak yang baru lahir dan mau nanya juga kepada siapa, semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Demikian juga waktu sekolah di Australia, semua hal-hal yang menjengkelkan dalam kehidupan sehari-hari dan menyulitkan pada waktu penulisan tesis, akan terasa “tidak ada apa-apanya” setelah kita selesai sekolah. Justru dengan mengingat-ingat apa yang telah terjadi, membuat kita mensyukuri apa yang ada sekarang.

Sekarang bagian enaknya. Yang terutama, hidup dan sekolah di luar negeri itu akan membuka mata kita selebar-lebarnya. Oh, ternyata gini toh luar negeri itu. Pengalaman seperti ini tidak akan bisa kita peroleh kalo kita cuma membaca atau mendengar saja. Tidak juga akan kita alami kalo kita cuman menjalani kunjungan singkat (sebagai turis misalnya), karena kalo kita berwisata keluar negeri, kita cenderung melihat yang indah-indah saja. Dengan hidup di luar negeri, kita jadi punya wawasan tentang dunia luar, bagaimana suatu negara dikelola, juga bagaimana wujudnya adat, kebiasaan, dan budaya orang. Dari situ lantas kita bisa memilih mana yang bisa kita adopsi dan mana yang sebaiknya tidak kita tiru.

Selain membuka wawasan, tentunya hidup di luar negeri, juga membawa manfaat-manfaat praktis. Yang terutama, banyak kesempatan jalan-jalan. Jalan-jalan ini tidak harus mahal. Misalnya pergi ke pantai yang sangat terjaga kerapihannya dan lengkap fasilitasnya (kamar bilas, toilet, tempat sampah, parkir), tidak dipungut biaya. Juga taman-taman umum yang luas, bersih, dan menyegarkan dan juga lengkap dengan ubo-rampenya (alat-alat fitness, barbeque, toliet, parkir), tidak memungut biaya bagi pengunjungnya. Dengan mengalami begini, kita jadi tau sampai sejauh mana, negara tercinta kita Indonesia ini, melayani kebutuhan rakyatnya.

Manfaat lain yang sudah pasti adalah kita bisa menjadi warga dunia. Artinya dengan sudah menjalani kehidupan di luar negeri, kita tidak akan “takut” pergi kemana-kemana karena kita sudah tahu caranya berkomunikasi dengan mereka dan sudah memahami bagaimana mereka berinteraksi dengan orang. Dengan hidup di luar negeri, kita mau tidak mau dipaksa untuk bisa berbahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris, tentunya apabila Anda bergaul secara luas dengan semua orang, bukan hanya dengan sesama teman Indonesia saja (Anak saya saja malah bahasa Inggrisnya lebih bagus daripada saya). Saya yakin, dengan keterampilan bahasa ini dan juga pemahaman Anda tentang budaya orang, kemanapun Anda pergi, tidak akan takut. Anda misalnya kalo disuruh tinggal di kota lain, misalnya ‘kamu harus pindah ke Middlesbrough tahun depan ya selama setahun’, pasti Anda tidak akan blingsatan kalo Anda pernah tinggal di luar negeri (misalnya di Sydney), daripada kalo Anda yang seumur-umur tinggal di Solo, misalnya. Atau tiba-tiba Anda entah bagaimana nyasar di bandara di Sevilla sana (yang belum pernah Anda kunjungi), tentu Anda tidak akan bingung kalo Anda sudah pernah tinggal di luar negeri (di mana pun), dibanding dengan misalnya Anda yang selamanya tinggal di Makassar sana.

Kalo punya duit banyak, Anda akan lebih beruntung lagi, bisa menjelajah tempat-tempat lain. Pengalaman saya, setelah memeras keringat membanting tulang seperti saya sampaikan sebelumnya, saya yang tinggal di Perth selain bisa pergi ke kota-kota sekitar sini, juga bisa jalan-jalan ke Melbourne, Sydney, Gold Coast, Brisbane, Auckland dan mengunjungi tempat-tempat wisata di sana. Atau waktu saya sekolah di Amerika, saya bisa pergi ke Washington DC, Pittsburg, San Fransisco, Los Angeles, Las Vegas. Apakah saya pamer maksudnya nulis ini? Bukan, ini cuman mau mingin-minginin Anda saja!

Terus gak enaknya tinggal di luar negeri? Seperti yang saya bilang tadi, yang gak enak pun sebenarnya ‘enak’ juga, jadi mari tidak kita bicarakan hal ini di sini lagi!

Terakhir, tentang sekolah PhD itu? Harus diakui bahwa sekolah PhD lumayan berat, karena itu adalah jenjang tertinggi akademik. Memang dibutuhkan kerja keras dan daya tahan yang tinggi. Tapi sejujurnya saya tidak merasakan berat-berat amat kok. Memang ada kalanya semangat naik turun, tapi kalo kita bisa ingat kembali kepada tujuan sebenarnya tinggal di luar negeri, saya yakin kok bisa selesai. Saya rasa kata kuncinya satu: kita bisa memanfaatkan waktu secara efektif. Saatnya nulis ya nulis dengan benar, saatnya cari duit ya cari duit, dan saatnya jalan-jalan sama keluarga ya silakan jalan-jalan. Saya aja yang tidak pernah lembur di kampus (saya hanya di kampus dari jam 9 pagi sampai jam 14, Senin sd Jumat, Sabtu Minggu libur), bisa selesai kok! Oya, satu kunci lagi: bahasa Inggris Anda harus bagus, karena itu akan mempercepat pemahaman waktu membaca, memudahkan komunikasi, dan juga memudahkan waktu menulis. Itu aja!

Kesimpulannya? Ayo pada sekolah di luar negeri! Lebih banyak enaknya daripada tidaknya. Percayalah! Kan yang nulis ini seorang PhD!

1 komentar: