Apartemen saya
kontrakannya habis 20 Mei 2014, yang tentu saja tidak sinkron dengan tanggal
batas studi saya tersebut. Pihak agen udah bilang bahwa memperpanjang kontrak
bisanya adalah tahunan, kan gak mungkin saya perpanjang sampai Mei 2015, siapa
mau menghuni ntar. Sebenernya sih bisa kata temen-temen saya memperpanjang
mingguan sampai saya selesai sekolah, tapi mengingat bahwa agen apartemen saya
orangnya reseh, dan juga saya harus mencarikan sekolah baru di Indonesia buat
Aby yang masuk SMP, maka diputuskan bahwa keluarga akan saya pulangkan Mei 2014,
sedang saya akan tinggal di rumah temen menyelesaikan studi.
Maka mulailah
proses seperti dulu tapi dibalik. Kalo dulu sibuk pindahan masuk, maka sekarang
sibuk pindahan keluar. Walaupun keliatannya apartemen gak ada isinya, tapi
setelah dilihat-lihat banyak juga. Terpaksa barang-barang yang gak akan dibawa
pulang dijual atau dikasih temen. Kulkas belinya $200 dijual $50, karena
setelah saya tawarkan gratis ke teman-teman gak ada yang mau (mereka semua udah
punya kulkas, ya jelaslah). Sisanya dikasih ke orang: meja makan dan kursinya, kasur,
lemari baju dua biji, dipan Aby, akuarium, rak sepatu, dst. Yang orang gak mau
terpaksa dibuang di depan rumah, misalnya sofa yang sudah rada meleyot, kursi,
alat-alat yang lain.
Hingga akhirnya
tinggallah barang-barang yang sayang untuk dikasih ke orang dan barang yang
memang dibeli untuk dibawa pulang. Pakaian, tivi, sepatu, tas, mainan anak,
alat tulis dsb adalah tergolong barang yang memang sudah dipakai yang bisa
dibawa pulang. Sedangkan barang yang khusus dibeli untuk dibawa pulang adalah
alat barbeque (harganya $400, tapi kalo di Indonesia harganya Rp11juta),
alat-alat pertukangan (saya sengaja beli ini karena mau mencoba hobi baru
sebagai tukang kayu), terus karpet (beli di Ikea bagus banget cuma $150 harga
satunya, saya beli dua). Yang paling berat adalah buku-buku yang diberikan Prof
saya (kan dia jobless!).
Setelah itu
barang dimasukin box untuk dikirim lewat ekspedisi. Setelah semua dikemas selama
lebih dari dua minggu hasilnya adalah 38 kardus, dengan berat total sekitar 400
kilo. Ongkos kirim ke Serpong adalah $3 per kilonya. Ini dia barangnya:
Abis itu diambillah barang sama perusahaan ekspedisi. Ternyata yang datang adalah seorang tukang bule dengan sebuah mobil boks. Dia ngangkut barang sendiri bolak balik (tanpa bantuan saya) dengan trolinya, kayak gini nih.
Dua minggu
kemudian barang udah nyampai di rumah saya di Serpong dengan selamat. Tapi sekali
lagi saya liat fenomena produktivitas yang berbeda antara bule dengan orang Indonesia. Kalo waktu ngambil barang di Perth sana si bule kerja sendiri dan
gak sampai satu jam selesai, maka di Serpong sini memasukkan barang perlu
tenaga dua orang (sopir ekspedisi sama satunya lagi), bahkan dibantu saya biar
cepet. Itupun waktunya lebih lama, yakni dua jam. Dan tanpa pake troli. Tuh kan,
bedanya negara maju sama bukan adalah produktivitas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar