Mengapa demikian,
karena itu saatnya pas dengan bulan Ramadhan. Ceritanya kan keluarga saya udah
pulang pertengahan Mei 2014 karena kontrakan apartemen saya udah habis. Lalu saya
melanjutkan sendiri menulis tesis di rumah temen di Perth. Kemudian menyerahkan
draft akhir tesis ke Pak Prof, abis itu saya pulang (habis mau ngapain lagi di
Perth, kan gak ada kegiatan). Tiga minggu kemudian saya balik ke Perth, ketemu
Prof terus betulin draft komplet. Abis dibetulin, terus dijilid, lalu dikasih
ke editor bahasa (proofreader). Abis itu balik lagi ke Jakarta karena ya gak
ada kegiatan lagi dan juga karena udah bulan puasa. Tiga minggu kemudian si
editor ngemail bahwa kerjaannya udah selesai, sehingga saya harus terbang lagi
ke Perth untuk mendiskusikannya. Kemudian keluarga menyusul ke Perth tanggal 16
Juli 2014 untuk melakukan wisuda (pura-pura). Seminggu jalan-jalan, keluarga balik
lagi ke Jakarta karena mau lebaran, saya menyelesaikan editing. Saya akhirnya pulang
juga ke Jakarta walaupun editing belum saya selesaikan, soalnya udah lebaran
minus tiga hari. Bayangin sibuknya bolak balik!
Nah, babak-babak
terakhir itulah situsasi jadi ruwet. H minus tiga lebaran mendarat Jakarta, H
minus dua terbang ke Salatiga untuk berlebaran, kemudian H plus dua balik
Jakarta, lalu nyambung ke Perth lagi tanggal 30 Juli 2014. Sementara paling
lambat saya harus submit terakhir tanggal 1 Agustus 2014, lewat itu saya harus
bayar pakai duit sendiri biaya kuliah kira-kira $90 per hari (dihitung harian
sampai dengan saat menyerahkan tesis).
Nyampai Perth
sore hari, langsung saya lanjutkan editing. Setelah selesai saya print malem
tanggal 31 Juli, besoknya yakni 1 Agustus 2014, hari terakhir deadline, saya ketemu dengan Prof saya di sebuah kafe untuk
melapor bahwa saya siap submit (sebelumnya udah janjian dulu) dan meminta doa
restu (halah!). Di akhir pertemuan, saya merayu si Prof untuk menandatangani
surat pengantar submit, siapa tau masih ‘laku’ walaupun dia sudah diberhentikan
oleh Curtin. (Catatan: Karena Prof saya udah gak kerja di universitas, dia tidak berwenang menandatangani surat pengantar submit. Supervisor yang baru, Ibu C, adalah pejabat universitas yang sangat sibuk, dan sialnya pas tanggal itu dia ada di Sydney ada acara, baliknya nanti sesudah tanggal keramat 1 Agustus, sehingga kalo nunggu dia, maka saya bisa relat submit dan saya harus bayar dendanya).
Abis ketemu si
Prof itu, saya ke kampus untuk mengambil surat pengantar submit asli yang saya
titipkan ke sekretaris Prof C itu untuk ditandatangani supervisor baru. Eh,
dasar ini sekretaris oon, suratnya ternyata gak disampaikan ke Ibu C. Pas saya
dateng ke sekretarisnya (yang tidak muda itu), dia bilang ‘gak ada kok
formulirnya’ dengan tanpa perasaan bersalah. Saya rada ngotot juga ‘udah kok
dikirim lewat email, coba dicek’. Terpaksa kita berdua ngecek inbox di emailnya
dia, dan benar, email saya ngejogrok dengan manis di situ, tanpa pernah dia
buka. Walah! Untunglah saya udah punya surat pengantar submit ‘cadangan’ yang
ditandatangani prof asli saya tersebut. Kalau tidak ya saya harus nunggu si Ibu
dateng ke Perth yang entah kapan, sambil bayangin berapa denda yang harus saya
bayar.
Akhirnya tesis
beserta surat pengantar cadangan dengan selamat saya setor ke pihak univeristas, dan
lalu mendapatkan tanda terima submit, sebuah dokumen yang sangat berharga dan maha
penting, yang menandakan bahwa saya sudah selesai sekolah dan boleh pulang! Periode
empat tahun paling berat dalam hidup saya sudah berakhir. Segara saya
beli tiket balik dan malemnya pulang langsung ke Jakarta dengan perasaan
merdeka semerdeka-merdekanya! Prinsipnya: yang penting submit dulu, urusan
hasil belakangan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar