Akhirnya selesai
sudah empat tahun saya di Australia. Pas tanggal 1 Agustus 2014, saya balik
lagi. Saya sendiri kadang bertanya-tanya kok ya submitnya pas di hari terakhir
beasiswa (yang lewat sehari aja langsung kena denda), kok kayak gak ada hari
lain aja. Sebenarnya saya maunya submit sebelumnya tapi apa boleh buat karena
harus lebaran di rumah (maklumlah udah empat kali saya berlebaran di Perth yang
percayalah rasanya gak enak), situasinya jadi ribet kayak gitu.
Lalu gimana
rasanya balik? Yang pasti hampir semua orang yang saya kenal, menyangkanya saya
udah lulus, alias sudah menjadi PhD. Kenyataannya saya masih harus nunggu lagi
penilaian dari dua orang examiner yang bisa memakan waktu minimal enam minggu
sampai dengan setengah tahun, begitu kata website Curtin. Nanti examiner akan
menilai apakah tesis saya lulus dengan tanpa revisi (biasanya disebut lulus
dengan nilai A di sini), lulus dengan sedikit revisi (nilai B1), lulus dengan
banyak revisi (nilai B2), tesis harus disusun ulang (nilai C), atau malah gak
lulus (nilai D). Amit-amit dah! Berhubung orang-orang yang ketemu saya selalu
ngucapin ‘wah , selamat ya udah jadi Doktor!’, saya ya bilang terima kasih aja,
soalnya rada susah kalo mau jelasin ke semua orang itu bahwa kira-kira nanti
setengah tahun lagi baru saya jadi PhD beneran!
Yang paling ‘lucu’
adalah kejadian kemarin dulu waktu ada acara akad nikah salah seorang saudara
saya. Saya kebetulan ditunjuk sebagai wakil dari pihak mempelai laki-laki untuk
memberikan sambutan pengantar dalam acara akad nikah (rupanya salah satu tugas
dari seorang PhD adalah memberi sambutan kalo ada acara keluarga!). Saya sama
nyonya berdiri di paling depan, di depan calon pengantin beserta para
pengiringnya di belakang. Sesuah siap, MC acara pun berkata ‘marilah kita ikuti
sambutan dari keluarga calon mempelai pria, Bapak Budi Susila, Ak., MA, PhD’. Waduh,
baru sekali itulah nama saya disebut lengkap beserta gelar-gelar akademis saya,
bahkan termasuk ‘PhD’ yang belum resmi saya sandang itu! Entah siapa yang
memberikan informasi gelar lengkap saya itu. Mungkin juga dirancang begitu supaya
terlihat mentereng dan supaya ‘gak kalah’ sama pihak calon besan, kan gak
setiap keluarga ada PhDnya! (Halah!). Tentu saja saya rada tersenyum mendengar
pengantar dari MC tersebut, dan lalu saya memberikan sambutan dengan gaya yang
sok berwibawa, yang kira-kira pantas keluar dari seorang Doktor beneran. Untunglah
kayaknya semuanya cukup puas dengan PhD gadungan ini!
Sementara menunggu
hasil dewan penguji tesis, saya pun juga harus balik ke kantor saya di
Kementerian Keuangan (kan saya ikatan dinas!). Kembali semua orang yang ketemu
menyelamati saya, saya saya mah terima kasih aja. Sekali lagi, menjelaskan
bahwa saya belum PhD beneran rada sulit, sehingga ya saya iya-iya aja (sambil
sedikit meninggikan mutu!).
Waktu dulu
sebelum pulang, pihak International Office Curtin pernah ngadain seminar
tentang ‘going home’ bagi calon mahasiswa yang udah mau pulang selamanya. Salah
satu yang diwanti-wanti mereka adalah adanya reverse culture shock, yakni
kejutan budaya di tanah air setelah sekian lama ditinggalkan. Apakah saya
mengalami hal itu? Kayaknya sih gak juga, soalnya Indonesia terutama Jakarta ya
gitu-gitu aja, tidak membuat terkejut dan bingung. Jalanan lebih macet itu
sudah pasti, orang-orang gak mau antre ya saya sudah maklum dan gak perlu
ngomel-ngomel. Sepeda motor melanggar lampu merah? Tidak aneh lagi. Nyari parkir
di mal sulit? Cerita lama! Cuman cuaca panasnya yang gak nahan, tapi itupun dua
minggu udah biasa lagi.
Yang culture
shock justru menyenangkan, yaitu harga makanan lezat nan murah banget! Kalo biasanya
mie ayam di Bintang Cafe harganya $8.5 maka di Bakmi GM cuma Rp22 ribu alias
gak ada tiga dolar. Lontong sayur yang enak banget deket rumah cuma Rp11 ribu,
cuman satu dolar kira-kira! Gado-gado enak deket lapangan tenis tempat saya
main cuma 14rb! Cuman sayangnya ada satu yang mengganjal: penghasilan saya
sekarang dalam rupiah. Jadi ya impas lah!
Kayaknya yang
paling senang kami pulang,ya anak saya si Aby. Dia bisa ketemu saudara-saudara
yang kecil-kecil (maklum dia anak tunggal), terus bisa nginep di tempat mereka.
Dia juga masuk SMP (swasta Islam) yang besar banget yang dia cita-citakan
(entah kenapa dia ingin ke sekolah itu juga saya gak tau) dan ketemu
teman-teman baru. Walaupun saya yakin dia agak kesulitan pakai bahasa Indonesia
di sekolah (sekolahnya pakai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar), karena
sampai sekarang saya sekeluarga pakai bahasa Inggris di rumah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar